Translate

Rabu, 09 September 2015

kekuasaan dan legitimasi negara


  •      KEKUASAAN
Menurut Ibnu Khaldun:kekuasaan negara adalah dominasi dan memerintah atas dasar kekerasan. Kekuasaan tidak dapat ditegakkan tanpa kekuatan yang menunjangnya. Kekuatan penunjang ini hanya dapat diberikan oleh solidaritas dan kelompok yang mendukungnya. Tanpa suatu kekuatan yang selalu dalam keadaan siap siaga, dan bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kepentingan bersama, maka kekuasaan penguasa tidak akan dapat ditegakkan. Kekuatan seperti itu hanya dapat ditegakkan dengan solidaritas (ashabiyah).Menurut Max Weber :Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini”. Menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan:      kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama.Menurut Talcott Parsons:     Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu. 
  •      Authority & legitimacy
—      Ada beberapa pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan, yaitu otoritas, wewenang (authority) dan legitimasi (legitimacy) atau keabsahan.
Menurut Robert Bierstedt, wewenang (authority) adalah institutionslized power (kekuasaan yang dilembagakan), yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai.Menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, bahwa wewenang adalah kekuasaan formal (formal power). Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang (authority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya.    —Wewenang semacam itu bersifat deontis (dari kata Yunani deon, “yang harus”; untuk dibedakan dari “wewenang epistemis”, wewenang dalam bidang pengetahuan).
  •       Macam-macam wewenang
       Menurut sosiolog Max Weber (1864-1922) ada tiga macam wewenang, yaitu tradisional, kharismatik, dan rasional-legal.Wewenang tradisional, berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati.Wewenang kharismatik, berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin.Wewenang rasional-legal, berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Yang ditekankan bukan orangnya akan tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah lakunya.
  •       Legitimas kekuasaan
Legitimasi atau keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau  penguasa adalah wajar dan patut dihormati.
Kewajaran itu berdasarkan persepsi bahwa  pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah.Menurut David Easton keabsahan adalah: “Keyakinan dari pihak anggota masyarakat bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu.Dilihat dari sudut penguasa, menurut A.M. Lipset: “Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu
  •      Legitimasi Materi Wewenang
Legitimasi dapat dibedakan dari segi obyek yang memerlukan keabsahan dan dari segi kriteria menilai keabsahan itu. Dari segi obyek dibedakan antara dua pertanyaan legitimasi materi wewenang dan legitimasi subyek wewenang.Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya: untuk tujuan apa wewenang dapat dipergunakan dengan sah?Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik; dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif, dan dalam kekuasaan (eksekutif) negara sebagai lembaga penataan efektif dalam arti mampu  mengambil tindakan.Terhadap hukum dikemukakan pertanyaan tentang hukum yang macam apa yang boleh dianggap sah. Apakah sembarang hukum asal pernah ditetapkan? Apakah hukum harus mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat tertentu sehingga kita dapat membedakan antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah?
  •      Legitimasi Subyek Wewenang
Legitimasi subyek kekuasaan mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekelompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara.Menurut Magnis, pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan: (1) legitimasi religius, (2) legitimasi eliter, dan (3) legitimasi demokratis.Legitimasi religius mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khusus penguasa.Legitimasi eliter mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah.Paham legitimasi itu berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintahi masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Mereka yang memilikinya merupakan elite masyarakat dan dengan sendirinya berhak untuk memegang kekuasaan. 
  •      Tiga Bentuk Legitimasi Eliter
imasi demokratis yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat.Legitimasi eliter dapat dibedakan sekurang-kurangnya menjadi empat macam. Yang tertua adalah legitimasi aristokratis: secara tradisional satu golongan, kasta, atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga dalam kepandaian untuk berperang.

Tiga bentuk legitimasi eliter lainnya baru muncul di zaman modern sebagai pengganti legitimasi aristokratis yang dengan berakhirnya feodalisme tidak dipercayai lagi.Pertama, legitimasi pragmatis: orang, golongan, atau kelas yang de facto menganggap diri paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menanganinya  inilah yang dianggap berhak untuk berkuasa. Kedualegitimasi ideologis modern: legitimasi ini mengandaikan adanya suatu ideologi negara yang mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengemban ideologi itu memiliki privilese kebenaran dan kekuasaan: mereka tahu bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk menentukannya.Ketigalegitimasi teknokratis atau pemerintahan oleh para ahliberdasarkan argumentasi bahwa materi pemerintahan masyarakat di zaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks sehingga hanya dapat dijalankan secara bertanggungjawab oleh mereka yang betul-betul ahli.Bentuk dasar ketiga legitimasi subyek kekuasaan adalah legit

  •      Kriteria Legitimasi
Adapun kriteria-kriteria  yang dapat dipergunakan untuk menilai keabsahan suatu wewenang atau kekuasaan pada prinsipnya ada tiga kemungkinan kriteria legitimasi: legitimasi sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis.       a. Legitimasi SosiologisLegitimasi sosiologis, atau lebih tepat ‘paham sosiologis tentang legitimasi’, mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima wewenang penguasa. Atau, motivasi-motivasi manakah yang mendasari ‘keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati’.b. LegalitasSuatu tindakan adalah legal apabila dilakukan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku. “legalitas” adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Legalitas adalah salah satu kemungkinan criteria bagi keabsahan wewenang. Legalitas menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.c. Legitimasi EtisLegitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi itu muncul dalam dua konteks.Pertama, setiap tindakan negara, entah legislatif, entah eksekutif dapat (dan harus) dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Pemertanyaan itu merupakan unsur penting dalam pengarahan kekuasaan ke pemakaian kebijaksanaan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab.Kedua, legitimasi etis yang menjadi pokok bahasan etika politik tidak menyangkut masing-masing kebijaksanaan dari kekuasaan politik, melainkan dasar kekuasaan politis itu sendiri. Bukan norma hukum masing-masing, melainkan sistem hukum sendiri sebagai tata tertib penataan normatif kehidupan masyarakat dipersoalkan.
Di dalam legitimasi etis ditanyakan hukum macam apa yang secara moral, dilihat dari segi prinsip-prinsip moral, berhak untuk menuntut ketaatan dan mana yang tidak.
Apakah kesesuaian dengan ketentuan hukum yang sudah berlaku mencukupi sebagai dasar keabsahan moral suatu undang-undang, atau isi undang-undang itu juga harus memenuhi tuntutan-tuntutan material tertentu? 

  •        Pandangan Ahli tentang Legitimasi Kekuasaan Negara
1. Plato & AristotelesPlato dan Aristoteles, menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan ini diperlukan untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional.Bagi Plato, individu memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Negara harus mencegah ini. Ini memang mengurangi kebebasan individu, tetapi apa boleh buat. Negara harus mengatur semuanya.Untuk mendidik warganya, menurut Plato, negara harus dikuasai oleh para ahli pikir atau filsuf. Karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya dalam kehidupan, yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Filsuf melihat nilai-nilai yang abadi; filsuf dapat membebaskan diri dari “dunia lahir yang berubah dan berganti-ganti dalam gejalanya”. Thomas Aquinas membicarakan tiga macam hukum dan hubungan yang terdapat di antara hukum-hukum itu. Pertama, adalah Lex Aeterna (“Hukum Abadi”) atau Kebijaksanaan Ilahi sendiri sejauh merupakan dasar segala ciptaan. Lex Aeterna itu dipartisipasi oleh ciptaan dalam kodratnya, karena kodrat makhluk-makhluk mencerminkan Kebijaksanaan Yang Menciptakannya.Bahwa makhluk itu ada, berbentuk atau berkodrat sebagaimana adanya adalah karena itulah yang dikehendaki Sang Pencipta.Kedua, Hukum Kodrat (Lex Naturalis) itulah dasar semua tuntutan moral. Dengan menghubungkan hukum moral dengan hukum Kodrat, Thomas mencapai dua hal sekaligus: Ia mendasarkan norma-norma moral pada wewenang mutlak Sang Pencipta. Dan ia sekaligus menunjukkan rasionalitasnya. Rasionalitas tuntutan-tuntutan moral terletak dalam kenyataan, bahwa tuntutan-tuntutan itu sesuai, dan berdasarkan keperluan kodrat manusia.Thomas pada akar hukum moral menolak segala paham kewajiban yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional, dari kebutuhan manusia sendiri yang sebenarnya. Prinsip itu diterapkan dengan tegas pada hukum buatan manusia, Lex Humana.
Menurut Thomas suatu hukum buatan manusia hanya berlaku apabila menurut dia dimensinya berdasarkan Hukum Kodrat: isinya harus sesuai dengan Hukum Kodrat, dan pihak yang memasang hukum itu memiliki wewenang berdasarkan Hukum Kodrat.Dengan demikian Thomas secara radikal menolak kekuasaan sebagai dasar hukum. Suatu peraturan hanya bersifat hukum, artinya hanya mengikat, apabila isinya dapat dilegitimasikan secara rasional dari hukum Kodrat. Suatu ‘hukum’ yang  bertentangan dengan Hukum Kodrat, menurut Thomas tidak memiliki status hukum, melainkan merupakan corruptio legis, suatu ‘penghancuran hukum’.Machiavelli dalam urusan politik perhatian terhadap norma-norma moral tidak pada tempatnya. Yang diperhitungkan hanyalah sukses. Machiavelli hanya mengenal satu kaidah etika politik: yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja. Segala apa yang melayani tujuan itu harus dibenarkan.Beberapa nasihat Machiavelli yang termashur dalam buku Il Principe antara lain: tindakan-tindakan yang jahat pun akan dimaafkan oleh masyarakat, asal saja raja mencapai sukses. Bahwa bagi raja bermanfaat, apabila orang mengira bahwa ia mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk sejauh kebiasaan-kebiasaan itu dihubungkan dengan sifat orang yang berkuasa. Kekejaman asal dipakai secara tepat, merupakan sarana stabilisasi kekuasaan raja yang mutlak perlu. Seorang raja yang bijaksana tidak boleh menepati janjinya, apabila hal itu akan merugikan kepentingannya.—Menurut Machiavelli, tidak ada manfaatnya kalau kita mempersoalkan legitimasi moral kekuasaan. Yang menentukan ialah teknik untuk merebut dan untuk mempertahankannya.Antonio Gramsci Gramsci mengembangkan teorinya tentang kekuasaan hegemonik. Kekuasaan hegemonik merupakan kekuasaan dari satu kelompok masyarakat yang diterima atau dianggap sah oleh kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Jadi, meskipun sebuah partai politik sebenarnya melayani kepentingan kaum borjuasi (dan merugikan kepentingan kaum buruh), ternyata para buruh tetap mendukung pemerintah yang dijalankan oleh partai ini. Maka dikatakan partai ini memiliki kekuasaan hegemonik terhadap masyarakat tersebut.Bagaimana kekuasaan hegemonik bisa diperoleh? Melalui ideologi. Partai kaum borjuis mempersembahkan program-programnya (yang sebenarnya membela kepentingan kaum borjuasi) sedemikian rupa sehingga seakan-akan program itu benar-benar berguna bagi kepentingan seluruh masyarakat, termasuk kelompok buruh dan orang-orang tersisih lainnya. Atau dengan kata lain, kepentingan kaum borjuasi diartikulasikan sebagai kepentingan seluruh masyarakat. Kalau ini berhasil, partai borjuis ini berhasil menegakkan kekuasaan hegemonik. Ideologi yang menghasilkan kekuasaan hegemonik ini dapat kita lihat misalnya pada cara negara-negara di Dunia Ketiga yang menganut sistem kapitalis mempersembahkan kebijakan-kebijakan pembangunan.




Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Wikipedia

Hasil penelusuran

free counters

Hukum Indonesia (Civil Law) © Layout By Hugo Meira.

TOPO