Translate

Rabu, 26 Oktober 2016

Hak Milik, Hak Pakai, dan Hak Guna di dalam Agraria

Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan

                                                                            BAB I 
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara Agraris, yang mayoritas penduduknya bergerak dalam sektor pertanian dengan memanfaatkan sumber daya Alam (kesuburan tanah, hasil perikanan, dll). Oleh karena itu dibutuhkan instrument yang mengatur bagaimana cara rakyat Indonesia tersebut memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang berada di dalam perut bumi Indonesia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia.
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup dalam melakukan aktivitas diatas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah, dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah.
Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah atau dengan kata lain disebut dengan hukum tanah.
Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut maka dibuatlah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Dengan diundangkannya UUPA, berarti sejak saat itu Indonesia telah memiliki Hukum Agraria Nasional yang merupakan warisan kemerdekaan setelah pemerintah kolonial Belanda. Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, menegaskan peranan kunci tanah, bahwa bumi, air, dan ruang angkasa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks ini, penguasaan dan penghakkan atas tanah terutama tertuju pada perwujudan keadilan dan kemakmuran dalam pembangunan masyarakat.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang ini bermaksud untuk mengadakan Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Dengan lahirnya undang-undang ini, tercapailah suatu keseragaman mengenai hukum tanah, sehingga tidak ada lagi ada hak atas tanah menurut hukum barat disamping hak atas tanah menurut hukum adat.
Dengan undang-undang ini, telah dicabut buku II KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku sejak berlakunya undang-undang ini. Dengan demikian, tidak ada lagi dualisme mengenai hukum tanah, yaitu Hukum Barat dan Hukum Adat karena telah ada unifikasi Hukum Tanah Indonesia.
Dengan demikian telah dihapuskan dari B.W. segala ketentuan atau pasal-pasal yang mengenai hak-hak kebendaan lainnya atas tanah dan oleh undang-undang baru itu telah diciptakan hak-hak yang berikut atas tanah :
a.       Hak milik;
b.      Hak guna usaha;
c.       Hak guna bangunan;
d.      Hak pakai;
e.       Hak sewa.


B.     Identifikasi / Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ?
2.      Apa saja subjek Hukum Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ?
3.      Bagaimana terjadinya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ?
4.       Apa saja Hak dan Kewajiban Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ?
5.      Berapa lama jangka waktu untuk Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak una Bangunan ?
6.      Bagaimana beralihnya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak una Bangunan ?
7.      Bagaimana hapusnya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak una Bangunan ?



BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG HUKUM AGRARIA

A.    Ruang Lingkup Hukum Agraria

1.      Definisi Agraria
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa   lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraris berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan “perladangan, persawahan, pertanian”.[1] Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan[2], sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agrarian ini , sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan tanah. [3]
Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminologi bahasa sebagaimana di atas, pengertian agraria dapat pula ditemukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu, pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti atau makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat (2)). Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (1)).
Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agraria/ sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ruang lingkup dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 Ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula 4 Ayat (1) UUPA adalah tanah.
b.      Air
Pengertian air menurut Pasal 1 Ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang N0. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, Disebutkan bahwa pengairan air meliputi air yang terkandung di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang ada di laut.
c.       Ruang Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
d.      Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya
Kekayaan Alam yang Terkandung di dalam disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, biji-biji dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan).
2.      Definisi Hukum Agraria
Hukum agraria dalam bahasa Belanda disebut Agrarisch recht yang merupakan istilah yang dipakai dalam lingkungan administrasi pemerintahan. Dengan demikian Agrarisch recht dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan bagi para penguasa dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan.
Menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, hukum agraria (Agraria recht), adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata , maupun hukum tata negara (staatsrecht) maupun pula hukum tata usaha Negara (administratifrecht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.
Boedi Harsono menyatakan hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas[4]:
a.       Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
b.      Hukum Air, yang mengatur hak- hak penguasaan atas air.
c.       Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Pertambangan.
d.      Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
e.       Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsure-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum agraria merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur agraria, baik dalam pengertian sempit yang hanya mencakup permukaan bumi (tanah) maupun dalam pengertian luas, mencakup bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hukum agraria dapat masuk dalam 2 (dua) ranah hukum, yaitu:
1)      Hukum publik : hukum agraria masuk ranah hukum publik saat pengaturan tentang batas bangunan diruang udara.
2)      Hukum privat : hukum agraria masuk ranah hukum privat saat penjualan tanah.

B.     Tujuan Hukum Agraria
Berdasarkan dengan pengertian agraria, tujuan pokok  yang ingin dicapai dengan adanya UUPA[5], yaitu:
1.      Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakanb kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
2.      Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3.      Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan.
Dengan mengacu pada tujuan pokok diadakannya UUPA, jelaslah bahwa UUP merupakan sarana yang akan dipakai untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.


BAB III
MEMBANDINGKAN HUKUM HAK MILIK, HAK PAKAI, HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.5 TAHUN 1960 TENTANG UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

A.    Pengertian Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[6]

1.      Hak Milik
Pengertian hak milik menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6. Hak milik dikatakan merupakan hak yang turun temurun karena hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Hak milik sebagai hak yang terkuat berarti hak tersebut tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Hak milik juga dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
2.      Hak Pakai
Hak pakai diatur dalam Pasal 41 – 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 41 ayat (1) UUPA menentukan sebagai berikut: Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
3.      Hak Guna Usaha
Menurut ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUPA, hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu untuk usaha pertanian, perikanan atau peternakan.
4.      Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan diatur dalam Pasal 35 – 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 35 ayat (1) UUPA menerangkan pengertian hak guna bangunan sebagai hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri selama jangka waktu tertentu.

B.     Subyek Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[7]

1.      Hak Milik
Pasal 21 ayat (1) UUPA menentukan bahwa :
a.       Warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.
b.      Namun ayat (2) ketentuan tersebut membuka peluang bagi badan hukum tertentu untuk mempunyai hak milik. Beberapa badan hukum yang dapat mempunyai hak milik adalah bank pemerintah atau badan keagamaan dan badan social.
Hak milik tidak dapat dipunyai oleh warganegara asing maupun orang yang memiliki kewargangeraan ganda (warganegara Indonesia sekaligus warganegara asing). Bagi warganegara asing atau orang yang berkewarganegaraan ganda yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan wajib untuk melepaskan hak tersebut paling lama satu tahun setelah memperoleh hak milik. Apabila jangka waktu tersebut berakhir dan hak milik tidak dilepaskan, maka hak milik menjadi hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara dengan tetap memperhatikan hak-hak pihak lain yang membebani tanah tersebut.

2.      Hak Pakai
Pasal 42 UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah (Pasal 39 PP40/1996):
a.       Warganegara Indonesia;
b.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c.       Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
d.      Badan-badan keagamaan dan sosial;
e.       Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
f.       Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
g.      Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

3.      Hak Guna Usaha
Pasal 30 ayat (1) UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak guna usaha adalah:
a.       Warganegara Indonesia;
b.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

4.      Hak Guna Bangunan
Pasal 36 ayat (1) UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan adalah:
a.       Warganegara Indonesia;
b.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

C.    Terjadinya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan[8]

1.      Hak Milik
Terjadinya hak milik dapat disebabkan karena (Pasal 22 UUPA):
a.       Hukum adat, misalnya melalui pembukaan tanah.
b.      Penetapan pemerintah, yaitu melalui permohonan yang diajukan kepada instansi yang mengurus tanah.
c.       Ketentuan undang-undang, yaitu atas dasar ketentuan konversi.[9]

2.      Hak Pakai
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 PP40/1996, ada tiga jenis tanah yang dapat diberikan dengan hak pakai, yaitu:
a.       Tanah Negara;
b.      Tanah hak pengelolaan;
c.       Tanah hak milik.
Terjadinya hak pakai atas tanah negara adalah melalui keputusan pemberian hak oleh menteri   atau pejabat yang ditunjuk. Terjadinya hak pakai atas hak pengelolaan adalah melalui keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. Sedangkan untuk hak pakai atas tanah hak milik terjadi melalui pemberian tanah oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setiap pemberian hak pakai tersebut wajib didaftarkan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
3.      Hak Guna Usaha
Hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah, yaitu melalui keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberian hak guna usaha wajib didaftarkan di buku tanah pada Kantor Pertanahan dan terjadi sejak didaftarkan. Adapun tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah tanah negara. Apabila tanah tersebut berupa kawasan hutan, maka pemberian hak guna usaha dapat dilakukan setelah tanah tersebut dikeluarkan dari status kawasan hutan. Apabila tanah yang akan diberikan dengan hak guna usaha sudah dikuasai dengan hak tertentu yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka pemberian hak guna usaha dapat dilaksanakan setelah dilakukan pelepasan hak atas tanah itu. Demikian pula apabila di atas tanah yang akan diberikan hak guna usaha terdapat tanaman atau bangunan milik pihak lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut berhak untuk mendapatkan ganti rugi dari pemegang hak guna usaha.
4.      Hak Guna Bangunan
Ada tiga jenis tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan, yaitu :
a.       Untuk tanah negara, hak guna bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
b.      Untuk tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. Sedangkan
c.       untuk tanah hak milik, terjadinya hak guna bangunan adalah melalui pemberian oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setiap pemberian hak guna bangunan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan.

D.    Hak dan Kewajiban Hak Pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan[10]
1.      Hak Milik
Tidak diatur

2.      Hak Pakai
Menurut ketentuan Pasal 52 PP 40/1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah , hak dari pemegang hak pakai adalah:
a.       Pemegang hak pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan hak pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu.
Pasal 50 PP 40/1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas
tanah mengatur kewajiban pemegang hak pakai adalah sebagai berikut
a.       Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik;
b.      Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik;
c.       Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d.      Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah hak pakai tersebut hapus;
e.       Menyerahkan sertipikat hak pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
f.       Pasal 51 PP40/1996 menentukan kewajiban tambahan bagi pemegang hak yang tanahnya mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air juga wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung tersebut.

3.      Hak Guna Usaha
a.       Pemegang hak guna usaha berhak untuk menguasai dan menggunakan tanah yang dipunyainya untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan. Untuk mendukung usahanya tersebut, maka pemegang hak guna usaha berhak untuk menguasai dan menggunakan sumber air dan sumber daya alam lainnya yang terdapat di atas tanah tersebut dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitar.
Pemegang hak guna usaha berkewajiban untuk:
a.       Membayar uang pemasukan kepada negara;
b.      Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan syarat yang ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
c.       Mengusahakan sendiri tanah tersebut dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha yang ditetapkan oleh instansi teknis;
d.      Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada di lingkungan areal tanah tersebut;
e.       Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f.       Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan tanah tersebut;
g.      Menyerahkan kembali tanah tersebut kepada negara setelah hak guna usahanya hapus;
h.      Menyerahkan sertifikat hak guna usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan;
i.        Selain kewajiban-kewajiban tersebut, pemegang hak guna usaha juga dilarang untuk menyerahkan pengusahaan tanah tersebut kepada pihak lain, kecuali diperbolehkan menurut ketentuan yang berlaku. Pemegang hak yang tanahnya mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air juga wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung tersebut.

4.      Hak Guna Bangunan
Pasal 32 PP 40/1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah menentukan bahwa pemegang hak guna bangunan berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan selama jangka waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya.
Kewajiban-kewajiban pemegang hak guna bangunan menurut ketentuan Pasal 30 PP 40/1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah adalah:
1.      Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
2.      Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan yang ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberian haknya;
3.      Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
4.      Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah hak guna bangunan itu hapus;
5.      Menyerahkan sertifikat hak guna bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.

E.     Jangka Waktu Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[11]

1.      Hak Milik
Tidak diatur

2.      Hak Pakai
Hak pakai atas tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Setelah hak pakai berakhir, hak pakai dapat diperbaharui atas kesepakatan pemegang hak pakai dan pemegang hak milik melalui pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setiap perpanjangan dan pembaharuan hak pakai wajib didaftarkan di buku tanah pada Kantor Pertanahan.

3.      Hak Guna Usaha
Hak guna usaha diberikan untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Setelah jangka waktu dan perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaruan hak di atas tanah yang sama (Pasal 8 PP 40/1996 juncto Pasal 29 UUPA).
4.      Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan yang berasal dari tanah negara dan tanah hak pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, hak guna bangunan tersebut dapat diperbarui.
Untuk hak guna bangunan yang berasal dari tanah hak pengelolaan, diperlukan persetujuan dari pemegang hak pengelolaan. Permohonan perpanjangan atau pembaruan hak guna bangunan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum jangka waktunya berakhir dan wajib dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
Untuk hak guna bangunan atas tanah hak milik, jangka waktunya adalah paling lama tiga puluh tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, maka hak guna bangunan dapat diperbarui atas kesepakatan antara pemegang hak guna bangunan dengan pemegang hak milik. Pembaruan tersebut dimuat dalam akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan wajib didaftarkan.
F.      Beralihnya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[12]

1.      Hak Milik
Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cara jual beli, hibah, tukar-menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.[13] Perlu diperhatikan bahwa hak milik tidak dapat dialihkan kepada orang asing atau badan hukum karena orang asing dan badan hukum tidak dapat menjadi subyek hak milik. Sehingga peralihannya menjadi batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.[14]
2.      Hak Pakai
Hak pakai atas tanah negara yang diberikan untuk jangka waktu tertentu dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan apabila hal ini dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik tersebut. Adapun cara peralihannya adalah sebagai berikut:
a.       Jual beli;
b.      Tukar menukar;
c.       Penyertaan dalam modal;
d.      Hibah;
e.       Pewarisan.

3.      Hak Guna Usaha
Hak guna usaha dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara:
a.       Jual beli;
b.      Tukar menukar;
c.       Penyertaan dalam modal;
d.      Hibah;
e.       Pewarisan.

4.      Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara:
a.       Jual beli;
b.      Tukar menukar;
c.       Penyertaan dalam modal;
d.      Hibah;
e.       Pewarisan.

G.    Hapusnya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[15]

1.      Hak Milik
Menurut ketentuan Pasal 27 UUPA, hak milik hapus karena:
a.       Tanahnya jatuh kepada negara:
b.      karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;
c.       Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
d.      Karena diterlantarkan;
e.       Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
f.       Tanahnya musnah.
g.      Selain itu hak milik juga hapus apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan peraturan landreform yang mengenai pembatasan maksimum dan larangan pemilikan tanah/pertanian secara absentee.[16]


2.      Hak Pakai
Hak pakai hapus karena (Pasal 55 PP40/1996):
a.       Jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui;
b.      Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktunya berakhir karena:
c.       Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban pemegang hak pakai;
d.      Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang diatur dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dan pemegang hak milik atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan;
e.       Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
f.       Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
g.      Dicabut untuk kepentingan umum (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya);
h.      Diterlantarkan;
i.        Tanahnya musnah;
j.        Orang atau badan hukum yang mempunyai hak pakai tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu tahun).
k.      Terhadap tanah yang hak pakainya hapus karena ketentuan tersebut, maka tanahnya menjadi tanah negara.

3.      Hak Guna Usaha
Hak guna usaha hapus karena (Pasal 34 UUPA):
a.       Jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui;
b.      Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
c.       Dicabut untuk kepentingan umum (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya);
d.      Diterlantarkan;
e.       Tanahnya musnah;
f.       Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu tahun).
Terhadap tanah yang hak guna usahanya hapus karena ketentuan tersebut, maka tanahnya menjadi tanah negara.

4.      Hak Guna Bangunan
Berikut ini adalah penyebab hapusnya hak guna bangunan:
a.       Jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui;
b.      Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik karena tidak dipenuhinya suatu syarat:
c.       Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban memegang hak;
d.      Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh pemegang hak guna bangunan dengan pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik;
e.       Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
f.       Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
g.      Dicabut untuk kepentingan umum (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya);
h.      Diterlantarkan;
i.        Tanahnya musnah;
j.        Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu tahun).
Hapusnya hak guna bangunan atas tanah negara mengakibatkan tanah tersebut menjadi tanah negara. Hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang hak pengelolaan. Hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak milik mengakibatkan tanah tersebut kembali ke dalam penguasaan pemegang hak milik.






BAB IV
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
            Pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti atau makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang ini bermaksud untuk mengadakan Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Dengan lahirnya undang-undang ini, tercapailah suatu keseragaman mengenai hukum tanah, sehingga tidak ada lagi ada hak atas tanah menurut hukum barat disamping hak atas tanah menurut hukum adat.
Dengan undang-undang ini, telah dicabut buku II KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku sejak berlakunya undang-undang ini. Dengan demikian, tidak ada lagi dualisme mengenai hukum tanah, yaitu Hukum Barat dan Hukum Adat karena telah ada unifikasi Hukum Tanah Indonesia.
Dengan demikian telah dihapuskan dari B.W. segala ketentuan atau pasal-pasal yang mengenai hak-hak kebendaan lainnya atas tanah dan oleh undang-undang baru itu telah diciptakan hak-hak yang berikut atas tanah :
f.       Hak milik;
g.      Hak guna usaha;
h.      Hak guna bangunan;
i.        Hak pakai;
j.        Hak sewa.

DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid    1 Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1994,
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Balai Pustaka, Jakarta, 2014,
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,



Tresna, Hukum Agraria di Indonesia, Melalui : <https://tresnabuana.wordpress.com/tag/ruang-lingkup-agraria/>, Data diunduh Senin, 19 Oktober 2015,18:05.
Rafaka, Perbandingan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, Melalui : <mdjiung.blogspot.co.id/2011/01/perbandingan-hak-milik-hak-guna-usaha.html?m=0>, Data diunduh Senin, 19 Oktober 2015, 18:07.
Wibowo Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> , Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:25.



[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid    1Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 4
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm. 4
[3] St. Paul Minn, Black’s Law Dictionary, 1983, West Publishing Co, dalam Boedi Harsono Hukum Agraris ,… op.cit., hlm. 4.
[4] Tresna, Hukum Agraria di Indonesia, Melalui : <https://tresnabuana.wordpress.com/tag/ruang-lingkup-agraria/>, Data diunduh Senin, 19 Oktober 2015,18:05.
[5] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 6
[6] Rafaka, Perbandingan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, Melalui : <mdjiung.blogspot.co.id/2011/01/perbandingan-hak-milik-hak-guna-usaha.html?m=0> , Data diunduh Senin, 19 Oktober 2015, 18:07.
[7] Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Balai Pustaka, Jakarta, 2014, hlm. 522-527
[8] Wibowo Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> , Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:25.
[9] Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 60-61.

[10] Wibowo Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> , Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:30.
[11] Wibowo Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> , Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:40.
[12] Wibowo Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> , Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:40.
[13] Ibid Hlm. 65.
[14] Ibid
[15] Wibowo Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> , Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:40.

[16] Ibid., hlm 66.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Wikipedia

Hasil penelusuran

free counters

Hukum Indonesia (Civil Law) © Layout By Hugo Meira.

TOPO