Translate

Senin, 05 Desember 2016

PENGERTIAN

  NEGARA  HUKUM

Gagasan Awal

Gagasan negara hukum pada dasarnya bermula dari keinginan untuk membatasi kekuasaan raja yang mutlak. Pada zaman dahulu, kekuasaan raja ini mencakup semua dimensi kehidupan bernegara. Dengan kata lain, kekuasaan pembuatan UU, pelaksana UU, dan pengadilan semuanya berada di tangan raja. Hal ini sering melahirkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia atau melahirkan tirani. Salah satu cara untuk membatasi kesewenang-wenangan raja adalah dengan pemencaran kekuasaan (spreiding van machten), yang dari sini kemudian melahirkan konsep pembagian kekuasaan (machtenverdeling), pemisahan kekuasaan (machtenscheiding), dan check and balances antar lembaga kekuasaan negara. Melalui pemencaran kekuasaan, pembagian dan pemisahan kekuasaan, dan check and balances ini diharapkan hak-hak asasi manusia dapat terpelihara dari tindakan tirani raja. Dari sini dapat kita pahami bahwa gagasan awal tentang negara hukum itu berkisar pada persoalan; bagaimana kekuasaan raja itu agar tidak sewenangwenang; dan bagaimana hak-hak asasi manusia dapat dilindungi;? Agar cara-cara penyelenggaraan kekuasaan-kekuasaan negara itu berjalan secara pasti dan agar hak-hak asasi manusia mendapatkan jaminan, maka perlu diatur oleh hukum, yang tertuang secara tertulis dalam dokumen resmi. Inilah yang kemudian dikenal dengan konstitusi. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah negara yang diatur oleh konstitusi atau hukum tertulis.

Dimensi Historis

Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintrodusir konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. 

Gagasan Plato itu kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Aristoteles. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu; 
1.      Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
2.      Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuanketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; 
3.      Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. 

Dalam perkembangannya, konsep negara hukum itu muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep AngloSaxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.[1]

Negara Hukum Kontinental (Rechtsstaat)


Konsep rechtsstaat dikemukakan oleh Freidrich Julius Stahl. Menurut Stahl, unsurunsur negara hukum (rechtsstaat) adalah sebagai berikut: 
(a)    perlindungan hak-hak asasi manusia; 
(b)   pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 
(c)    pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan  (d) peradilan administrasi dalam perselisihan.

Legal State (Negara Hukum Klasik); dengan ciri-ciri:
a)      Sataatsonthouding, yakni pembatasan peranan negara dan pemerintah dalam bidang politik yang melahirkan dalil “The least government is the best government”, dan  prinsip “laissez faire, laissez aller” dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat.
b)      Pemerintah atau eksekutif hanya menjalankan UU yang dibuat oleh Legislatif; karena itu pemerintah berpegang teguh pada asas legalitas.
c)      Pemerintahan yang pasif (Nachtwakkersstaat atau Nachtwachtersstaat).

Welfare State (Negara Hukum Modern); dengan ciri-ciri:
a)      staatsbemoeienis yakni negara dan pemerintah dibebani tanggungjawab untuk mewujudkan bestuurszorg atau kesejahteraan umum;
b)      Pemerintah dilekati dengan kewenangan di bidang legislasi;
c)      Pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat;
d)      Pemerintah dilekati dengan freies Ermessen, yang kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan (beleidsregel).

Negara Hukum Anglosakson (rule of law)

 
Konsep rule of law dikemukakan oleh A.V. Dicey, yang unsur-unsurnya   sebagai berikut:
(a)     Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
(b)     Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
(c)     Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undangundang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.  

Antara konsep rechtsstaat dengan rule of law ada perbedaan, yakni dalam rechtsstaat ada unsur “peradilan administrasi dalam perselisihan”, sedangkan dalam rule of law tidak ada. Mengapa demikian?  Menurut Philipus M. Hadjon;
“Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”. Karakteristik civil law adalah administratif sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu besarnya peranan administrasi sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem kontinentallah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit administratif dan inti dari droit administratif adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat… Sebaliknya di Inggris, kekuasaan utama dari raja adalah memutus perkara. Peradilan oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu system peradilan sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja, tetapi bukan melaksanakan kehendak raja. Hakim harus memutus perkara berdasarkan kebiasaan umum Inggris. ….di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara (hukum administrasi dan peradilan administrasi), sedangkan di Inggris dipikirkan langkah-langkah untuk peradilan yang adil, penahanan yang tidak sewenang-wenang”.[2]  




Negara Hukum Islam (Nomokrasi Islam)

Nomokrasi Islam merupakan konsep negara yang umumnya diterapkan di negara-negara Islam. Tahir Azhary menyebutkan bahwa Nomokrasi Islam itu memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2.      Prinsip musyawarah;
3.      Prinsip keadilan;
4.      Prinsip persamaan;
5.      Prinsip pengakuan dan perlindungan HAM;
6.      Prinsip Peradilan Bebas;
7.      Prinsip Perdamaian;
8.      Prinsip kesejahteraan; 9. Prinsip ketaatan rakyat.  

Negara Hukum Indonesia (Pancasila)

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Amandemen Ketiga disebutkan; “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 
Unsur-unsur Negara Hukum Indonesia:
Philipus M. Hadjon: 
1.      Hubungan antara Pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
2.      Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; 3. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. 

Tahir Azhary

Menurutnya ada ciri-ciri dan unsur-unsur negara hukum Pancasila; Ciri-cirinya adalah:
1.      Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
2.      Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
3.      Kebebasan agama dalam arti positif;
4.      Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
5.      Asas kekeluargaan dan kerukunan;

Unsur-unsurnya adalah:
1.      Pancasila;
2.      MPR;
3.      Sistem Konstitusi;
4.      Persamaan; 5. Peradilan bebas.

Negara Hukum Demokratis (Democratische Rechtsstaat)

Negara hukum demokratis adalah suatu negara yang di dalamnya mengakomodir prinsipprinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi. Unsur-unsurnya disebutkan oleh H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dan oleh J.B.J.M. ten Berge.

J.B.J.M. ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut: [3]

a. Prinsip-prinsip negara hukum;

1)      Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang. 
2)      Perlindungan hak-hak asasi.
3)      Pemerintah terikat (tunduk) pada hukum.
4)      Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus dapat ditegakan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrumen yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah.
5)      Pengawasan oleh hakim yang merdeka. 

b. Prinsip-prinsip demokrasi;  1) Perwakilan politik. 
2)      Pertanggungjawaban politik. 
3)      Pemencaran kewenangan. 
4)      Pengawasan dan kontrol. (Penyelenggaraan) pemerintahan harus dapat dikontrol.
5)      Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum.
6)      Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.

H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip  rechtsstaat dan prinsipprinsip demokrasi sebagai berikut:

a. Prinsip-prinsip rechtsstaat;

1)      Pemerintahan berdasarkan undang-undang; pemerintah hanya memiliki kewenangan yang secara tegas diberikan oleh UUD atau UU lainnya.
2)      Hak-hak asasi; terdapat hak-hak manusia yang sangat fundamental yang harus dihormati oleh pemerintah.
3)      Pembagian kekuasaan; kewenangan pemerintah tidak boleh dipusatkan pada satu lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang berbeda agar saling mengawasi yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan.
4)      Pengawasan lembaga kehakiman; pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang merdeka. [4]

b. Prinsip-prinsip demokrasi;

1)      Keputusan-keputusan penting, yaitu undang-undang, diambil bersama-sama dengan perwakilan rakyat yang dipilih berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
2)      Hasil dari pemilihan umum diarahkan untuk mengisi dewan perwakilan rakyat dan untuk pengisian pejabat-pejabat pemerintahan.
3)      Keterbukaan pemerintahan.
4)      Siapapun yang memiliki kepentingan yang (dilanggar) oleh tindakan penguasa, (harus) diberi kesempatan untuk membela kepentingannya.
5)      Setiap keputusan harus melindungi berbagai kepentingan minoritas, dan harus seminimal mungkin menghindari ketidakbenaran dan kekeliruan).[5]





[1] Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 63
[2] Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 73
[3] Disarikan dari J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, hlm. 34-38
[4] H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma BV. Utrecht, 1995, hlm. 41
[5] Ibid., hlm. 49 

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Wikipedia

Hasil penelusuran

free counters

Hukum Indonesia (Civil Law) © Layout By Hugo Meira.

TOPO