PENGERTIAN
NEGARA HUKUM
Gagasan Awal
Gagasan negara hukum pada dasarnya
bermula dari keinginan untuk membatasi kekuasaan raja yang mutlak. Pada zaman
dahulu, kekuasaan raja ini mencakup semua dimensi kehidupan bernegara. Dengan
kata lain, kekuasaan pembuatan UU, pelaksana UU, dan pengadilan semuanya berada
di tangan raja. Hal ini sering melahirkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran
terhadap hak-hak asasi manusia atau melahirkan tirani. Salah satu cara untuk
membatasi kesewenang-wenangan raja adalah dengan pemencaran kekuasaan (spreiding van machten), yang dari sini
kemudian melahirkan konsep pembagian kekuasaan (machtenverdeling), pemisahan kekuasaan (machtenscheiding), dan check
and balances antar lembaga kekuasaan negara. Melalui pemencaran kekuasaan,
pembagian dan pemisahan kekuasaan, dan check and balances ini diharapkan
hak-hak asasi manusia dapat terpelihara dari tindakan tirani raja. Dari sini
dapat kita pahami bahwa gagasan awal tentang negara hukum itu berkisar pada
persoalan; bagaimana kekuasaan raja itu agar tidak sewenangwenang; dan
bagaimana hak-hak asasi manusia dapat dilindungi;? Agar cara-cara
penyelenggaraan kekuasaan-kekuasaan negara itu berjalan secara pasti dan agar
hak-hak asasi manusia mendapatkan jaminan, maka perlu diatur oleh hukum, yang
tertuang secara tertulis dalam dokumen resmi. Inilah yang kemudian dikenal
dengan konstitusi. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa
negara hukum adalah negara yang diatur oleh konstitusi atau hukum tertulis.
Dimensi Historis
Secara embrionik, gagasan negara
hukum telah dikemukakan oleh Plato,
ketika ia mengintrodusir konsep Nomoi,
sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Dalam Nomoi, Plato
mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang
baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik.
Gagasan Plato itu kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Aristoteles. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari
pemerintahan yang berkonstitusi yaitu;
1.
Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
2.
Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan pada ketentuanketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi;
3.
Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang
dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang
dilaksanakan pemerintahan despotik.
Dalam perkembangannya, konsep negara hukum itu muncul dalam
berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi
Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan
rechtsstaat, negara hukum menurut konsep AngloSaxon (rule of law), konsep
sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.[1]
Negara Hukum Kontinental (Rechtsstaat)
Konsep rechtsstaat
dikemukakan oleh Freidrich Julius Stahl.
Menurut Stahl, unsurunsur negara hukum (rechtsstaat)
adalah sebagai berikut:
(a)
perlindungan hak-hak asasi manusia;
(b)
pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin
hak-hak itu;
(c)
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
dan (d) peradilan administrasi dalam
perselisihan.
Legal State (Negara Hukum Klasik); dengan ciri-ciri:
a)
Sataatsonthouding,
yakni pembatasan peranan negara dan pemerintah dalam bidang politik yang
melahirkan dalil “The least government is
the best government”, dan prinsip “laissez faire, laissez aller” dalam
bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi
masyarakat.
b)
Pemerintah atau eksekutif hanya menjalankan UU yang
dibuat oleh Legislatif; karena itu pemerintah berpegang teguh pada asas
legalitas.
c)
Pemerintahan yang pasif (Nachtwakkersstaat atau Nachtwachtersstaat).
Welfare State (Negara Hukum Modern); dengan ciri-ciri:
a)
staatsbemoeienis yakni
negara dan pemerintah dibebani tanggungjawab untuk mewujudkan bestuurszorg atau kesejahteraan umum;
b)
Pemerintah dilekati dengan kewenangan di bidang
legislasi;
c)
Pemerintah terlibat
aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat;
d)
Pemerintah dilekati dengan freies Ermessen, yang kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan (beleidsregel).
Negara Hukum Anglosakson (rule of law)
Konsep rule of law dikemukakan
oleh A.V. Dicey, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
(a)
Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
(b)
Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini
berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
(c)
Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di
negara lain oleh undangundang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Antara konsep rechtsstaat dengan rule of law
ada perbedaan, yakni dalam rechtsstaat ada unsur “peradilan administrasi dalam perselisihan”, sedangkan dalam rule of
law tidak ada. Mengapa demikian? Menurut
Philipus M. Hadjon;
“Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental
yang disebut “civil law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep rule of law
bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”. Karakteristik civil law
adalah administratif sedangkan karakteristik common law adalah judicial.
Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada
kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah
membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada
pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi
hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu besarnya peranan
administrasi sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem kontinentallah
mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit administratif dan
inti dari droit administratif adalah hubungan antara administrasi dengan
rakyat… Sebaliknya di Inggris, kekuasaan utama dari raja adalah memutus
perkara. Peradilan oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu system peradilan
sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja, tetapi bukan
melaksanakan kehendak raja. Hakim harus memutus perkara berdasarkan kebiasaan
umum Inggris. ….di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi
kekuasaan administrasi negara (hukum administrasi dan peradilan administrasi),
sedangkan di Inggris dipikirkan langkah-langkah untuk peradilan yang adil,
penahanan yang tidak sewenang-wenang”.[2]
Negara Hukum Islam (Nomokrasi Islam)
Nomokrasi Islam merupakan konsep
negara yang umumnya diterapkan di negara-negara Islam. Tahir Azhary menyebutkan bahwa Nomokrasi Islam itu memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2.
Prinsip musyawarah;
3.
Prinsip keadilan;
4.
Prinsip persamaan;
5.
Prinsip pengakuan dan perlindungan HAM;
6.
Prinsip Peradilan Bebas;
7.
Prinsip Perdamaian;
8.
Prinsip kesejahteraan; 9. Prinsip ketaatan rakyat.
Negara Hukum Indonesia (Pancasila)
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
Amandemen Ketiga disebutkan; “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Unsur-unsur Negara Hukum Indonesia:
Philipus M. Hadjon:
1.
Hubungan antara Pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan;
2.
Hubungan fungsional dan proporsional antara
kekuasaan-kekuasaan negara; 3. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah
dan peradilan merupakan sarana terakhir;
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Tahir Azhary
Menurutnya ada ciri-ciri dan
unsur-unsur negara hukum Pancasila; Ciri-cirinya adalah:
1.
Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
2.
Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
3.
Kebebasan agama dalam arti positif;
4.
Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
5.
Asas kekeluargaan dan kerukunan;
Unsur-unsurnya adalah:
1.
Pancasila;
2.
MPR;
3.
Sistem Konstitusi;
4.
Persamaan; 5. Peradilan bebas.
Negara Hukum Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
Negara hukum demokratis adalah
suatu negara yang di dalamnya mengakomodir prinsipprinsip negara hukum dan prinsip-prinsip
demokrasi. Unsur-unsurnya disebutkan oleh H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dan
oleh J.B.J.M. ten Berge.
J.B.J.M. ten Berge
menyebutkan prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut: [3]
a. Prinsip-prinsip negara hukum;
1)
Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh
pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang.
2)
Perlindungan hak-hak asasi.
3)
Pemerintah terikat (tunduk) pada hukum.
4)
Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan
hukum. Hukum harus dapat ditegakan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah
harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrumen yuridis penegakan
hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem
peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas
pemerintah.
5)
Pengawasan oleh hakim yang merdeka.
b. Prinsip-prinsip demokrasi; 1) Perwakilan politik.
2)
Pertanggungjawaban politik.
3)
Pemencaran kewenangan.
4)
Pengawasan dan kontrol. (Penyelenggaraan) pemerintahan
harus dapat dikontrol.
5)
Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum.
6)
Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt
menyebutkan prinsip-prinsip rechtsstaat
dan prinsipprinsip demokrasi sebagai berikut:
a. Prinsip-prinsip
rechtsstaat;
1)
Pemerintahan berdasarkan undang-undang; pemerintah
hanya memiliki kewenangan yang secara tegas diberikan oleh UUD atau UU lainnya.
2)
Hak-hak asasi; terdapat hak-hak manusia yang sangat
fundamental yang harus dihormati oleh pemerintah.
3)
Pembagian kekuasaan; kewenangan pemerintah tidak boleh
dipusatkan pada satu lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang
berbeda agar saling mengawasi yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan.
4)
Pengawasan lembaga kehakiman; pelaksanaan kekuasaan
pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang merdeka. [4]
b. Prinsip-prinsip demokrasi;
1)
Keputusan-keputusan penting, yaitu undang-undang,
diambil bersama-sama dengan perwakilan rakyat yang dipilih berdasarkan
pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
2)
Hasil dari pemilihan umum diarahkan untuk mengisi dewan
perwakilan rakyat dan untuk pengisian pejabat-pejabat pemerintahan.
3)
Keterbukaan pemerintahan.
4)
Siapapun yang memiliki kepentingan yang (dilanggar)
oleh tindakan penguasa, (harus) diberi kesempatan untuk membela kepentingannya.
5)
Setiap keputusan harus melindungi berbagai kepentingan
minoritas, dan harus seminimal mungkin menghindari ketidakbenaran dan
kekeliruan).[5]
[1] Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta,
1992, hlm. 63
[2] Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 73
[3] Disarikan dari J.B.J.M.
ten Berge, Besturen Door De Overheid,
W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, hlm. 34-38
[4]
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken
van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma BV. Utrecht, 1995, hlm. 41
[5] Ibid., hlm. 49