Translate

Jumat, 11 November 2016

Pengertian Korupsi dan Penangannya


KATA PENGANTAR
Korupsi sudah menjadi fenomena yang biasa di dalam masyarakat di Indonesia dapat dikatakan bahwa sepertinya korupsi sudah menjadi budaya.di Indonesia bagaikan surga untuk para koruptor. Hal ini terlihat dengan diletakkannya Indonesia pada perigkat kelima dari 146 negara terkorup dari seluruh dunia yang diteliti oleh transparansi internasional pada tahun 2004.
Korupsi mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia menderita dan hidup dalam kemiskinan, penanggulangan korupsi menjadi PR bersama mengingat korupsi berkembang begitu pesat bagaikan jamur hingga merambah ke instansi terbawah sekalipun.
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi di atur dalam UU no.31 tahun 1999, Uu no.20 tahun 2001 dan bentuk pelaksanaan dari pasal 43 UU no. 31 tahun 1999 yaitu dibentuknya UU no.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disingkat KPK.
Menjamurnya korupsi di Indonesia merupakan wajah keterpurukan yang harus disehatkan. Untuk itu dalam pembahasan disini mencoba untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang menyebabkan terjadinya korupsi dan bagaimana pencegahannya.
Disamping kedaan tersebut perlu juga dikemukakan atau dibahas bagaimana perilaku maupun sepak terjang dari para apparat penegak hukum yang setidaknya turut ambil bagian mewarnai keadaan yang cukup memprehatinkan pada wajah hukum dinegara yang kita cintai ini dan telah menjadi rahasia umum bagaimana apparat penegak hukumnyapun bisa kita katakana ikut andil sehingga menjamur atau tumbuh suburnya perbuatan korupsi dimaksud .
Sehingga kiranya dengan kekurang mampuan penulis namun tetap berusaha untuk menyajikan permasalahan ini yang akhirnya dapat dipergunakan sebagai bahan ataupun saran tidak lebih lanjut dalam hal penanggulangan korupsi dinegara yang kita cintai ini.
ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar i
Daftar isi ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang 
B. Perumusan masalah 
BAB II KORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA
A Pengertian korupsi 
B .Faktor penyebab korupsi 
C. Langkah pemberantasan korupsi 
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi bukan barang baru di Indonesia. Sejak zaman VOC sampai bubarnya VOC disebabkan oleh korupsi, korupsi sudah sangat lama dikenal. Upeti dizman kerajaan dimasa lalu adalah salah satu bentuk dari korupsi.
Korupsi merupakan budaya peninggalan masa lalu. Ini merupakan suatu budaya yang sulit dihilangkan karena melekat pada diri manusia itu sendiri yang merupakan moralitas atau akhlak.Untuk menghilangkan itu semua perlu dicari sebab-sebab dan bagaimana untuk mengatasinya. Penyebab utama adanya korupsi adalah berasal dari masing-masing individu dan untuk mengatasinya harus dimulai dari penyusunan akhlak yang baik dalam diri manusia itu sendiri selain upaya-upaya lain yang bersifat eksternal berupa pencegahan-pencegahan melalui penegakan hukum itu sendiri.
B. Perumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2. Faktor penyebab adanya korupsi ?
3. Bagaimana cara pemberantasan korupsi






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Korupsi

Definisi tindak pidana korupsi tidak ada define baku dari tindak pidana korupsi (tipikor). Tetapi secara umum, pengertian Tipikor adalah salah satu perbuatan curang yang merugian negara. Atau penyelwengan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan orang lain atau korporasi[1]. Pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang – Undang Tipikor Pasal 3 UU No. 31 tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara…” [2].
            Pengertian berdasarkan pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi: “ setiap orang yang secara melawan Hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”[3]. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang termasuk kedalam unsur-unsur tindak pidana korupsi adalah (1) setiap orang, termasuk juga korporasi, yang (2) melakukan perbuatan melawan hukum, (3) memperkaya diri sendiri, dan (4) merugikan keuangan negara.
Menurut penulis pasal ini di tunjukan kepada semua orang tanpa terkecuali dan semua korporasi dapat melakukan tindak pidana korupsi, tetapi yang pernah bapak Mahrus ali katakaa adalah bagaimana cara untuk mengetahui apakah orang atau korporasi tersebut merugikan negara atau tidak karena didalam pasal tersebut ada delik yang menyatakan bahwa dapat merugian perekonomian negara, untuk mengukur apakah perekonomian negara itu rugi sangat susah untuk menentukan parameternya tersebut.
Pengertian berdasarkan pasal 3 UU No. 31 tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang termasuk kedalam unsur tindak pidana korupsi adalah  (1) setiap orang, termasuk juga korporasi yang, (2) tujuannya menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan, (3) menyalah gunakan wewenang, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang melekat pada dirinya, (4) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian ini lebih ditunjukan kepada PNS (Pegawai Negri Sipil) atau pejabat publik dan korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi karena menyalahgunakan wewenang, kesempatan dan saran yang melekat pada jabatanya.
Adapun sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku Tipikor berupa Pidana Penjara dan Pidana Denda yang di ataur dalam (pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12A, pasal 12B, dan pasal 12C UU No31. Tahun 1991 jo. No. 20 tahun 2001).
Kasus-kasus Tipikor biasanya melibatkan lebih dari satu orang, berbeda dengan kasus-kasus tindak pidana Umum (misalnya pencurian dan penipuan), seperti meminta uang saku yang berlebihan dan peningkatan frekuensi perjalanan dinas, umumnya Tipikor dilakukan secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan secara timbal balik. Mereka yang terlibat Tipikor biasanya juga berusaha menyelubungi perbuatannya dengan perlindungan di balik pembenaran hukum.[4]
Terdapat beberapa istilah penting yang di jadikan acuan penegakan hukum dalam Tipikor. Pertama, pejabat public yaitu meliputi, (1) setiap orang yang memegang jabatan  legislative, eksekutif, administartif, atau yudikatif di suatu negara. (2) setiap orang yang melaksanakan fungsi public, termasuk untuk suatu instansi public atau perusahan public.
Kedua, kekayaan yaitu setiap jenis asset, baik bertubuh atau tak bertubuh, bergerak atau tak bergerak, berwujud dan tidak berwujud, dan dokumen atau instrument hukum yang membuktikan ha katas atau kepentingan dalam aset tersebut.
Ketiga, hasil kejahatan yaitu setiap kekayaan yang berasal atau diperolah langsung atau tidak langsung dari pelaksanaan kejahatan.
Keempat, pembekuan atau penyitaan yang berati pelarangan sementara transfer, konversi, pelepasan atau pemindahan kekayan, atau penempatan sementara kekayaan dalam pengawasaan atau pengendalian berdasarkan perintah pengendalian atau pejabat berwenang lainya.
Kelima, perampasan yang meliputi pembayaran denda jika adalah perampasan kekayaan secara tetap berdasarkan perintah pengadilan atau perjabat berwenang lainnya.[5]
Korporasi diakui sebagai subjack delik, dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi badan hukum yang dipengaruhi oleh pemikiran VonSavigny yang terkenal dengan teori fiksi[6] tidak diakui dalam hukum pidana karena pemerintah Belanda pada saat itu tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum pidana. Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku perbuatan pidana hanyalah manusia.
Dalam perkembangannya ada usaha untuk menjadi korporasi sebagai subjack hukum dalam pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus-pengurus korporasi.
Dimulai dari tahap pertama yang ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorngan. Apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidan tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini membebankan ‘tugas pengurus’ kepada pengurus.[7]
Tahap kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah perang dunia 1 dalam perumusan undang-undang,bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi, tapi tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus bada hukum tersebut. Perumusan yang khusus ini yaitu apabila perbuatan pidana dilakukan oleh satu atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Dalam tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut.
Tahap Ketiga, merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan memintan pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alas an bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut.[8]

B.     Faktor Penyebab Adanya Korupsi
Setelah kita mengetahui Pengertian dan ciri-ciri korupsi maka kali ini kita akab membahas sedikit tentang faktor dan juga penyebab dari tindakan korupsi ini. Mengapa terjadinya korupsi itu.  
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku matrealistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi ( ansari Yamamah: 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian “terpaksa” korupsi kalau sudah menjabat.
Pandangan lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjasinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada (Arifin:2000).
Secara umum faktor penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi karena fsktor politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku yang berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW:2000) yang mengidentifikasi empat faktor penyebab terjadinya korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomin dan birokrasi, dan faktor transnasional.
1.       FAKTOR POLITIK
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan.
            Perilaku korup seperti menyuap, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi politik (Susanto: 2002).
2.       FAKTOR HUKUM
Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas tegas  (non lext certa) sehingga multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami resistensi.[9]
3.        Iman Yang Tidak Kuat (Iman yang lemah)
Orang-orang yang memiliki kelemahan iman, sangat mudah sekali untuk melakukan tindakan kejahatan seperti korupsi contohnya. Apabila iman orang tersebut kuat, mereka tidak akan melakukan tindakan korups ini. Banyak sekali alasan yang diberikan oleh penindak korupsi ini.
4.        Kurangnya Sosialisasi dan Penyuluhan kepada Masyarakat
Hal ini dapat menyebabkan masyarakat tidak tahu tentang mengenai bentuk-bentuk tindakan korupsi, ketentuan dan juga sanksi hukumnya, dan juga cara menghindarinya. Akibatnya, banyak sekali diantara mereka yang menganggap "biasa"  terhadap tindakan korupsi, bahkan merekapun juga akan melakukan hal tersebut.
5.        Desakan Kebutuhan Ekonomi
Dengan keadaan ekonomi yang sulit, semua serba sulit, berbagai tindakan pun akan dilakukan oleh seseorang, guna untuk mempermudah kebutuhan ekonomi seseorang, salahsatunya adalah dengan melakukan tindakan korupsi.





6.        Pengaruh Lingkungan
Lingkungan yang baik akan berdampak baik juga bagi orang yang berada dilingkungan tersebut, tetapi bagaimana jika di lingkungan tersebut penuh dengan tindakan korupsi dan lain-lain. Maka orang tersebut juga akan terpengaruh dengan tindakan kriminal.[10]
C.    Langkah-Langkah Pembertansan Korupsi
korupsi merupakan penyakit moral, oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis dengan menerapkan strategi yang komprehensif.
Memang korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan dimasa reformasi. Mustahil mereformasi suatu negara jika korupsi masih merajalela. Sangat naif memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, atau mempertinggi mutu pendidikan jika korupsi tetap dibiarkan merajalela.
Tipikor merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena dampaknya yang ditimbulkan memang luar biasa. Sebab tipikor yang selama ini terjadi secara sistemik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, menganggu stabilitas dan keamanan masyarakat, serta melemahkan nilai-nilai demokrasi, etika, keadalian, dan kepastian hukum, sehingga dapat membahayakan kelangsungan pembangunan, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Bertolak dari persepi tersbut, pembertasannya juga harus dilakukan secara luar biasa.[11]
Ada beberapa institusi penanggulangan tindak pindana Korupsi, pertama Kepolisian Republik Indonesia, pada dasarnya ruang lingkup tugas dan fungsi Kepolisan selain diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Juga diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dalam rangka pemberantsan tindak pidana korupsi salah satu poin dalam instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi mengistruksikan (kepala) Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk:
a.       Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana  korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara,
b.      Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang, dilakukan oleh anggota Kepolisan Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.
c.       Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, dan intitusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengambalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.
Secara khusus tugas dan fungsi kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana korupsiadalah dalam bidang penyidikan dan peyelidikan.
Kedua, Kejaksaan Republik Indonesia, dalam penangana tindak pidana korupsi kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia tidak berbeda jauh dengan kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dibidang penyidikan dan penyelidikan, yakni melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang tidak ditangani oleh Komisi Pemberantsan Korupsi. Jika perkara korupsi tidak melibatkan apparat penegak hukum, penyelenggaran negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh apparat penegak hukum atau penyelenggara Negara, tidak mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan tidak menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), biasanya penuntutan terhadap perkara tersebut dilakukan olwh kejaksaan Republik Indonesia.
Ketiga, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selain penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itulah diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa memlalui pembentukan suatau badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta bekesinambungan.[12]
Pembentukan lembaga yang diharapkan mampu memberantas atau paling tidak meminimalisir maraknya kasus korupsi salah satunya adalah dnegan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.[13] Pada sisi lain, upaya pemberantasan korupsi yang telah berjalan selama ini dinilai pula belum terlaksana secara optimal. Karena apparat penegak hukum yang bertugas menangani perkara tindak pidana korupsi dipandang belum dapat berfungsi secara efektif dan efisien.[14]


BAB III
 PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian diatas jelaslah sudah bahwa penanggulangan kasus-kasus korupsi tidaklah mudah, untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak yang melibatkan masyarakat yang tentunya dilandasi dengan kesadaran hukum disetiap warga negara, baik posisinya sebagai warga sipil maupun pejabat negara yang tentunya semua itu berpulang pada individu masing-masing yang berketuhanan YME. Tanggung jawab kita bukan hanya kepada pribadi, keluarga dan masyarakat melainkan juga kepada Tuhan.






[1] Syamsuddin Aziz, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 15.
[2] Undang-Undang No. 31 tahun 1991 pasal 3 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Korupsi
[3] Undang-Undang No. 31 tahun 1991 pasal 2 ayat (1) jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang korupsi
[4] Syamsuddin Azizs, Tindak Pidana Khusus, op. cit. hlm. 15.

[5] Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm.30.
[6] Tero fiksi menganggap bahwa kepribadian hukum merupakan kesatuan-kesatuan dari manusia adalah hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Hamzah Hatrik, Asas pertanggungjawaban korporasi Dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, (Jakarta, 1996). Hlm. 30. Yang dikutip kembali dari buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi  (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 43
[7] Setiyono, kejahatan Korporasi cetk. Ketiga (Malang: Bayumeda Publishing, 2005), hlm. 10. Yang dikutip kembali dari buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 44.
[8] Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 44-45.
[9] Faktor penyebab Korupsi, http://hasbagiilmu.blogspot.co.id/2015/08/faktor-penyebab-korupsi.html, diakses 6 Oktober 2016, Jam 12:02 WIB.
[10] Faktor-faktor penyebab korupsi, http://www.multipengetahuan.com/2014/10/faktor-penyebab-tindakan-korupsi.html, diakses 6 Oktober 2016, Jam 12:02 WIB.
[11] Syamsuddin Azizs, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 175-176.
[12] Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 193-199.
[13] Uraian secara khusu mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi, baca Bibit Samad Rianto, ‘’Undang-udang Pengadilan Tipikor dan Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi’’, dalam Amir Syarifuddin, dkk (penyuting), Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Komisi Yudisial, Republik Indonesia,  2009). Hlm 467-479. Yang dikutip kembali dari buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 199.

Read more...

Rabu, 09 November 2016

Macam Masyarakat Hukum Adat

- Hukum adat yang bersifat Masyarakat Hukum Teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan daniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.

- Hukum adat yang bersifat teritorial genologis Masyarakat Hukum Teritorial-Genealogis, adalah kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur dimana para anggotanyabukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan.

-Masyaakat Hukum adat bersifat adat keagamaan, Kesatuan masyarakat adapt-keagamaan menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat yang khusus beragama Hindia , Islam , Kristen/katolik , dan ada yang atheis. Masyarakat hukum adat tak lapas dari sesuatu yang bersifat kepercayaan ataupun keagamaan karena unsur keagamaan/religio magis telah tertuang pada dasar-dasar alam pikir hukum adat maka wajarlah jika timbul masyarakat yang bersifat adat-keagamaan.

-Masyarakat Hukum adat genealogis , Genealogis : Suatu kesatuan masyarakat yang teratur dimana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari suatu leluhur baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan) maupun secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Pada intinya persekutuan hukum yang bersifat genealogis dilandaskan pada pertalian darah  petalian suatu keturunan.

-Masyarakat adat diperantauan, Masyarakat desa adat keagamaan sadwirama tersebut merupakan suatu bentuk baru bagi orang-orang bali unuk tetap mempertahankan eksistensi adat dan agama hindu di daerah perantauannya. Kumpulan atau organisasi kekeluargaan tersebut seringkali juga bertindak mewakili anggota-anggotanya dalam penyelesaian perselisihan antara masyarakat adat (suku) yang satu dengan yang lain. Masyarakat hukum dat selain menetap pada suatu wilayah tertentu juga menjalani perantauan lalu membentuk suatu masyarakat adat di daerah perantauan.


-Masyarakat adat lainnya Masyarakat hukum adat ini kini terlihat nyata pada bangsa Indonesia zaman sekarang, karena bentuk masyarakat ini sudah tidak lagi terbentuk dari hukum adat atau daerah yang sama namun atas dasar rasa kekeluargaan dan terdiri dari berbagai suku bangsa, layaknya semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’, meski berbeda-beda tetaplah satu jua. Hal itulah yang menarik dari hukum ada dan kemasyarakatannya, karena dapat masuk di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat.

Read more...

Selasa, 01 November 2016

Sejarah Undang-Undang Pokok Agraria

                                          SEJARAH UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA


A.   Sejarah dan Arti Penting Undang-Undang Pokok Agararia
Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agararia) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara3. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat[1]”. Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agararia). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.
Setelah proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pokok Agararia yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa[2]:
“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”.
Semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme[3]. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan[4]
“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”.
Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan Undang-Undang Pokok Agararia.
Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agararia adalah[5]:
1.    Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2.    Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3.    Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Hal penting lainnya adalah bahwa Undang-Undang Pokok Agararia sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil[6]. Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi[7]. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.
Salah satu konsepsi terpenting dalam Undang-Undang Pokok Agararia yang kemudian mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Berikut ini diuraikan secara umum tentang kedua asas terpenting ini.
1.    Hak Menguasai Negara
Ini dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam Undang-Undang Pokok Agararia 1960 dengan memberi wewenang kepada Negara untuk[8]:
a.    mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Kewenangan HMN tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di negara Barat maupun di negara –negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa[9]. Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara[10].
Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan[11].

2.    Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam Undang-Undang Pokok Agararia tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak individu ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan landreform. Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian rumah.

A.    Tinjauan Historis Landreform
1.    ORDE LAMA
a.    PANITIA AGRARIA YOGYAKARTA
Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar – dasar hukum agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintah jajahan, dengan pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakn pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan wakil dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan panitia Agraria Yogyakarta.
Panitia Jogja bertugas untuk :
I.      memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal hukum
II.    pemerintahan
III.   merancangkan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria.
IV.  Serta merancang perubahan, pergantian, pencatutan peraturan lama baik dari sudut legislatif baik dari sudut praktek yang menyelidiki soal-soal hukum tanah.
Panitia mengusulkan asas-asas yang akan merupakan dasar dari hukum agraria baru:
           i.        Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.
         ii.        Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebabi hak tanggungan.
        iii.        Suapaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menetukan apakah apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
        iv.        Perlunya diadakan penepan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauparisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut sekalipun sederhana.
         v.        Perlunya ada penetapan luas maksimum.
        vi.        Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah.
       vii.        Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex kadaster).

b.    PANITIA JAKARTA
Kemudian setelah negara RI sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia maka berdasarkan Kepres tertanggal 19 Maret 1951 No. 36 tahun 1951 Panitia Yogya dibubarkan kemudian dibentuk “PANITIA JAKARTA” yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” pada tahun 1953 yang pada saat itu berjabat sebagai pejabat politik. Panitia ini beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementrian, dan jawatan serta wakil-wakil dari organisasi tani. Pada tahun 1953 Sarimin Reksodiharjo digantikan oleh Singgih Praptodiharjo, karena Sarimin diangkat sebagai Gubernur di Nusa Tenggara.
Adapun usulan yang dapat diberikan dalam pembentukan agraria :
              i.        mengadakan batasan minimal luas tanah yaitu 2 hektar.
            ii.        ditentukan luas batas adalah 25 hektar.
           iii.        yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil adalah warga negara asli dan warga negara bukan asli.
           iv.        Badan hukum tidak diberikan kesempatan untuk mengerjakan tanah pertanian, untuk pertanian kecil diterima bangunan hak milik, hak pakai, hak usaha.
            v.        Hak ulayat disetujui untuk diatur atas kuasa UUD Dasar Pokok Agraria. Pada tanggal 29 Maret 1951 dikeluarkan Keppres No. 5/1955 yaitu dengan dibentuknya Kementrian agraria, dengan tugas : untuk mempersiapkan perundang-undangan agraria nasional dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Ketentuan UUD 1950.

c.    PANITIA SOEWAHJO
Dengan dibentuknya Kementrian agraria nasional yang diketuai oleh Goenawan.  Nampak hasil pemerintah yang sungguh-sungguh untuk membentuk pembaharuan hukum agraria. Namun susunan dan cara kerjanya panitia ini tidak dapat diharapkan sebagaimana mestinya. Maka Kementrian Nasional dibubarkan sesuai dengan Keppres No. 1 tahun 1956 pada tanggal 14 Januari 1956 dan dibentuk Panitia Urusan Negara Agraria yang berkedudukan di Jakarta yang diketuai oleh Soewatijo Soemodilogo yang menjabat pada saat itu sebagai Sekjend Kementrian Agraria.- Panitia ini beranggotakan :
      i.        Pejabat-pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan
    ii.        ahli-ahli hukum adat
   iii.        Wakil-wakil dari beberapa organisasi tani
Panitia ini bertugas : untuk mempersiapkan Rancangan Undang-undang Pokok Agraria dalam jangka waktu 1 tahun harus selesai pada tahun 1951. Ada beberapa hal pokok yang penting dalam RUUPA :
      i.        dihapusnya azas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus tunduk kepada kepentingan umum atau negara.
    ii.        Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara .
   iii.        Dualisme hukum agraria dihapuskan.
   iv.        hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak yang terkuat mempunyai fungsi
    v.        sosial, hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
   vi.        hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang WNI tidak dibedakan warga negara asli atau warga negara tidak asli, serta badan hukum pada dasarnya tidak dibolehkan memiliki hak atas tanah.
  vii.        perlu diadakan penetapan batas minimum dan maksimum tanah yang boleh dipakai oleh Badan Hukum.
viii.        tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusakan sendirian dan diusahakan oleh pemiliknya.
   ix.        perlu diadakan pendaftaran tanah dan rencana penggunaan tanah.

d.    RANCANGAN SOENARJO
Dengan adanya perubahan sistematik dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan “Panitia Soewahjo” tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Rancangan undang-undang ini dikenal kemudiab sebagai “Rancangan Soenarjo”, disetujui oleh Dewan Menteri dalam sidangnya ke 94 pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan amanat Presiden tanggal 24 April 1958 Nomor 1307/HK.
Rancangan Soenarjo menggunakan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik untuk hukum agraria yang baru, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum Barat, yang disesuaikan dengan kesadaran hukum rakyat dan kebutuhan dalam hubungan perekonomian. Sifat ketentuan dari hak-hak tertentu, dalam rancangan Soenarjo, dianggap telah merupakan suatu pengertian yang erat hubungannya dengan soal kepastian hukum, karenanya sangat diperhatikan.
Disebutkan dalam penjelasan umum bahwa rumusan mengenai hak miliknya mempersatukan ketentuan hak eigendom atas tanah (menurut hukum Barat) dan hak milik menurut hukum adat.




e.    RANCANGAN SADJARWO
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam bentuk lebih sempurna dan lengkap diajukanlah Rancangan undang-Undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo sehingga dikenal sebagai “Rancangan Sadjarwo”.
Rancangan Soejarwo berbeda prinsipiil dari rancangan Soenarjo. Ia hanya menggunakan hukum adat sebagai dasar hukum agraria baru dan ia tidak mengoper pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak perorangan” yang tidak dikenal daam hukum adat, Rumusan bahwa hak milik, hak usaha dan hak bangunan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga “dari rancangan Soenarjo, diubah dengan sengaja dalam rancangan Sadjarwo menjadi hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, karena tidak berkehendak untuk memasukkannya pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak perorangan” ke dalam hukum agraria yang baru.
Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi tanah telah diawali dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian. Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ exploitation de Iâ homme per Iâ homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya.
Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah[12]. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan. Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan.
Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah[13]. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya”. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan Undang-Undang Pokok Agararia menjadi anggotanya[14].
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah[15]. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform. Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan[16]. Hal itu karena20[17]:
·         Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
·         Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
·         Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;
·         Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra landreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.
Akan halnya hasil dari program landreform masa ini—menurut Utrecht—adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar[18], yaitu sejak program ini dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445 hektar.

2.     ORDE BARU
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru[19].
Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakan revolusioner. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan sebagai tanah kelebihan—dan karenanya menjadi objek redistribusi tanah—dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.
Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.
Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam Undang-Undang Pokok Agararia, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.
Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar[20]. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber daya agraria lainnya.
Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.
Perbedaan lainnya adalah jika Undang-Undang Pokok Agararia dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.
Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat.
Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani[21].

3.    ORDE REFORMASI
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap Undang-Undang Pokok Agararia. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah:
·         melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat;
·         menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
                Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja[22].





DAFTAR PUSTAKA
A.   Buku
Fauzi, Noer, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta 1999.
Ismail, Nurhasan, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006.
Parlindungan, AP., Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1991.
Simarmata, Ricardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006.
-------, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, 2001.
Suseno, Frans Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Tjondronegoro, Sediono MP. &Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta,1984.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta 1994.
B.   Pearturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
C.   Sumber Lainnya
Sumardjono, Maria SW, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta, 1998,
Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007
Biro Pusat Statistik 1993.

[1] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) naskah asli, dan tidak mengalami perubahan hingga Amandemen IV.
[2] Pidato Pengantar Menteri Agraria dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960 oleh Mr. Sadjarwo. Dalam Risalah Pembentukan UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA dan Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta,  1999, hlm. 585
[3] Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, keterbatasan kesadaran elite terdidik (sekolahan maupun otodidak) dan manajemen kekuasaan negara merupakan faktor terpenting dalam pasang-surut dari mobilisasi dan peran rakyat dalam perumusan kebijakan Negara baru tersebut. Ketiadaan ahli hukum dari luar Jawa-Sumatera (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, apalagi Irian dan sebagainya), membuat ide-ide yang tercetus oleh ahli-ahli hukum tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan “Barat” sebagaimana didapatkan di sekolah-sekolah, dan pengalaman Jawa-Sumatera. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1994, hlm. 159.
[4] Ibid., hlm. 213.
[5] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA), Penjelasan Umum Angka I.
[6] Praktek bagi hasil sudah lama dikenal di Jawa. Ini didukung oleh sifat melindungi secara komunal serta sifat menyerap tenaga kerja dari sistem sosio-ekonomi pedesaan. Tetapi dalam perkembangannya, semakin yang mengkhawatirkan. Lihat, Justus M. van der Kroef, “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa,” diterjemahkan dari “Land Tenure and Social Structure in Rural Java,” Approaches to Community Development, volume 25, Bab IX, 1960, dalam Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Op. Cit., hlm. 156-157. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa sistem bagi hasil ini merupakan praktek adat yang dipengaruhi oleh feodalisme dan karenanya termasuk hukum adat yang disaneer. Inilah satu alasan yang menyebabkan UU Bagi Hasil kemudian tidak diterapkan pada masa Orde Baru. Padahlm menurut penelitian yang dilakukan oleh Bernard L. Tanya, terdapat juga praktek bagi hasil dalam masyarakat hukum adat di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur dimana besaran bagi hasil justru ditentukan oleh penggarap dengan alasan telah mengeluarkan tenaga dan biaya untuk benih, sehingga pemilik disini hanya mendapat 10% dari hasil panen. Ini dipengaruhi juga oleh nilai adat “saling memangku adat,” bahwa hubungan bapak (pemilik) dan anak (penggarap) ladang dan sawah tadah hujan tidak boleh saling merugikan. Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006,hlm. 62
[7] Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Loc. Cit. 
[8] Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 2 UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA. Menurut beberapa tokoh, paham ini dipengaruhi paham Negara integralistik yang berkembang saat itu dan didukung terutama oleh Soekarno dan Supomo. Kesatuan antara masyarakat dan Negara dimana kepentingan individu dan kelompok larut dalam kepentingan Negara (mirip dengan konsep Rousseau tentang masyarakat organis) sehingga tidak terjadi pertentangan hak dan kepentingan warga masyarakat dan Negara. Individu ditempatkan di bawah nilai masyarakat sebagai keseluruhan. Lihat Frans Magnis Suseno,, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm. 94-96.
[9] Maria SW Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta
[10] AP. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1991,  hlm. 40
[11] Ibid. Dua pembatasan tersebut menjadi penting mengingat HMN merupakan suatu konsepsi pokok dalam UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA yang kemudian dijadikan sumber dari Undang-Undang atau pun regulasi lainnya yang dirumuskan kemudian berdasar perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, pembatasan Konstitusi. Dengan semakin kuatnya pengakuan Konstitusi pasca Amandemen terhadap hak asasi manusia, maka pengaturan tentang pengambilalihan hak milik atas tanah harus benar-benar memperhatikan asas ini.
[12] Perinciannya adalah sebagai berikut: Land Reform terdiri dari 4 Undang-Undang, 2 Peraturan Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan Menteri, 12 Keputusan Menteri, 9 Surat Edaran Menteri (40 peraturan); dan tentang Pengurusan Hak Tanah terdiri dari 1 Undang-Undang, 3 Peraturan Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, 1 Instruksi Presiden, 4 Peraturan Menteri, 10 Keputusan Menteri, 7 Surat Edaran Menteri (28 peraturan), dari keseluruhan yang berjumlah 92 peraturan. Lihat dalam Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 2006, 185
[13] Noer Fauzi, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 141
[14] Ibid 
[15] Noer Fauzi, Op. Cit., hlm. 143-144.
[16] Terjadinya aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di bawah naungan BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak memperhatikan prosedur normal landreform.
[17] Noer Fauzi, Op. Cit., hlm. 124.
[18] Ibid., hlm. 147.
[19] Rikardo Simarmata, Op. Cit., hlm. 64-65.
[20] Biro Pusat Statistik 1993.
[21] Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 51 .

[22] Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007

Read more...

Wikipedia

Hasil penelusuran

free counters

Hukum Indonesia (Civil Law) © Layout By Hugo Meira.

TOPO