Pengertian Korupsi dan Penangannya
KATA
PENGANTAR
Korupsi
sudah menjadi fenomena yang biasa di dalam masyarakat
di Indonesia dapat dikatakan bahwa sepertinya korupsi sudah menjadi
budaya.di Indonesia bagaikan surga untuk para koruptor. Hal ini
terlihat dengan diletakkannya Indonesia pada perigkat kelima dari 146
negara terkorup dari seluruh dunia yang diteliti oleh transparansi
internasional pada tahun 2004.
Korupsi
mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia menderita dan hidup dalam
kemiskinan, penanggulangan korupsi menjadi PR bersama mengingat korupsi
berkembang begitu pesat bagaikan jamur hingga merambah ke instansi terbawah
sekalipun.
Pemberantasan
Tindak Pidana korupsi di atur dalam UU no.31 tahun 1999, Uu no.20 tahun 2001
dan bentuk pelaksanaan dari pasal 43 UU no. 31 tahun 1999 yaitu dibentuknya UU
no.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disingkat
KPK.
Menjamurnya
korupsi di Indonesia merupakan wajah keterpurukan yang harus
disehatkan. Untuk itu dalam pembahasan disini mencoba untuk mengetahui
aspek-aspek apa saja yang menyebabkan terjadinya korupsi dan bagaimana
pencegahannya.
Disamping
kedaan tersebut perlu juga dikemukakan atau dibahas bagaimana perilaku maupun
sepak terjang dari para apparat penegak hukum yang setidaknya turut ambil
bagian mewarnai keadaan yang cukup memprehatinkan pada wajah hukum dinegara
yang kita cintai ini dan telah menjadi rahasia umum bagaimana apparat penegak
hukumnyapun bisa kita katakana ikut andil sehingga menjamur atau tumbuh
suburnya perbuatan korupsi dimaksud .
Sehingga
kiranya dengan kekurang mampuan penulis namun tetap berusaha untuk menyajikan
permasalahan ini yang akhirnya dapat dipergunakan sebagai bahan ataupun saran
tidak lebih lanjut dalam hal penanggulangan korupsi dinegara yang kita cintai
ini.
ii
DAFTAR ISI
Kata
pengantar i
Daftar
isi ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
B.
Perumusan masalah
BAB II KORUPSI DAN
PEMBERANTASANNYA
A
Pengertian korupsi
B
.Faktor penyebab korupsi
C.
Langkah pemberantasan korupsi
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi
bukan barang baru di Indonesia. Sejak zaman VOC sampai bubarnya VOC
disebabkan oleh korupsi, korupsi sudah sangat lama dikenal. Upeti dizman
kerajaan dimasa lalu adalah salah satu bentuk dari korupsi.
Korupsi
merupakan budaya peninggalan masa lalu. Ini merupakan suatu budaya yang sulit
dihilangkan karena melekat pada diri manusia itu sendiri yang merupakan moralitas
atau akhlak.Untuk menghilangkan itu semua perlu dicari sebab-sebab dan
bagaimana untuk mengatasinya. Penyebab utama adanya korupsi adalah berasal dari
masing-masing individu dan untuk mengatasinya harus dimulai dari penyusunan
akhlak yang baik dalam diri manusia itu sendiri selain upaya-upaya lain yang
bersifat eksternal berupa pencegahan-pencegahan melalui penegakan hukum itu
sendiri.
B. Perumusan masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan korupsi?
2. Faktor
penyebab adanya korupsi ?
3. Bagaimana
cara pemberantasan korupsi
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Definisi tindak pidana korupsi tidak
ada define baku dari tindak pidana korupsi (tipikor). Tetapi secara umum,
pengertian Tipikor adalah salah satu perbuatan curang yang merugian negara.
Atau penyelwengan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan
orang lain atau korporasi[1]. Pengertian tindak pidana
korupsi menurut Undang – Undang Tipikor Pasal 3 UU No. 31 tahun 1991 jo. UU No.
20 Tahun 2001 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara…” [2].
Pengertian
berdasarkan pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang
berbunyi: “ setiap orang yang secara melawan Hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”[3]. Berdasarkan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001,
yang termasuk kedalam unsur-unsur tindak pidana korupsi adalah (1) setiap
orang, termasuk juga korporasi, yang (2) melakukan perbuatan melawan hukum, (3)
memperkaya diri sendiri, dan (4) merugikan keuangan negara.
Menurut penulis pasal ini di tunjukan
kepada semua orang tanpa terkecuali dan semua korporasi dapat melakukan tindak
pidana korupsi, tetapi yang pernah bapak Mahrus ali katakaa adalah bagaimana
cara untuk mengetahui apakah orang atau korporasi tersebut merugikan negara
atau tidak karena didalam pasal tersebut ada delik yang menyatakan bahwa dapat
merugian perekonomian negara, untuk mengukur apakah perekonomian negara itu
rugi sangat susah untuk menentukan parameternya tersebut.
Pengertian berdasarkan pasal 3 UU No.
31 tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang termasuk kedalam unsur tindak
pidana korupsi adalah (1) setiap orang,
termasuk juga korporasi yang, (2) tujuannya menguntungkan diri sendiri, orang
lain atau korporasi dengan, (3) menyalah gunakan wewenang, kesempatan atau
saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang melekat pada dirinya,
(4) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian ini lebih
ditunjukan kepada PNS (Pegawai Negri Sipil) atau pejabat publik dan korporasi
yang melakukan tindak pidana korupsi karena menyalahgunakan wewenang,
kesempatan dan saran yang melekat pada jabatanya.
Adapun sanksi hukum yang dapat
dikenakan kepada pelaku Tipikor berupa Pidana Penjara dan Pidana Denda yang di
ataur dalam (pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11,
pasal 12A, pasal 12B, dan pasal 12C UU No31. Tahun 1991 jo. No. 20 tahun 2001).
Kasus-kasus Tipikor biasanya
melibatkan lebih dari satu orang, berbeda dengan kasus-kasus tindak pidana Umum
(misalnya pencurian dan penipuan), seperti meminta uang saku yang berlebihan
dan peningkatan frekuensi perjalanan dinas, umumnya Tipikor dilakukan secara
rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan secara timbal balik. Mereka
yang terlibat Tipikor biasanya juga berusaha menyelubungi perbuatannya dengan
perlindungan di balik pembenaran hukum.[4]
Terdapat beberapa istilah penting yang
di jadikan acuan penegakan hukum dalam Tipikor. Pertama, pejabat public yaitu meliputi, (1) setiap orang yang
memegang jabatan legislative, eksekutif,
administartif, atau yudikatif di suatu negara. (2) setiap orang yang
melaksanakan fungsi public, termasuk untuk suatu instansi public atau perusahan
public.
Kedua,
kekayaan yaitu setiap jenis asset, baik bertubuh atau tak bertubuh, bergerak
atau tak bergerak, berwujud dan tidak berwujud, dan dokumen atau instrument
hukum yang membuktikan ha katas atau kepentingan dalam aset tersebut.
Ketiga,
hasil
kejahatan yaitu setiap kekayaan yang berasal atau diperolah langsung atau tidak
langsung dari pelaksanaan kejahatan.
Keempat,
pembekuan atau penyitaan yang berati pelarangan sementara transfer, konversi,
pelepasan atau pemindahan kekayan, atau penempatan sementara kekayaan dalam
pengawasaan atau pengendalian berdasarkan perintah pengendalian atau pejabat
berwenang lainya.
Kelima,
perampasan
yang meliputi pembayaran denda jika adalah perampasan kekayaan secara tetap
berdasarkan perintah pengadilan atau perjabat berwenang lainnya.[5]
Korporasi diakui sebagai subjack
delik, dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini,
Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan
fiksi badan hukum yang dipengaruhi oleh pemikiran VonSavigny yang terkenal
dengan teori fiksi[6]
tidak diakui dalam hukum pidana karena pemerintah Belanda pada saat itu tidak
bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum pidana. Konsekuensinya,
yang dapat menjadi pelaku perbuatan pidana hanyalah manusia.
Dalam perkembangannya ada usaha untuk
menjadi korporasi sebagai subjack hukum dalam pidana, yaitu adanya hak dan
kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh fakta
bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil
kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang
dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan
pengurus-pengurus korporasi.
Dimulai dari tahap pertama yang
ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi
pada perorngan. Apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi,
maka tindak pidan tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.
Dalam tahap ini membebankan ‘tugas pengurus’ kepada pengurus.[7]
Tahap kedua ditandai dengan pengakuan
yang timbul sesudah perang dunia 1 dalam perumusan undang-undang,bahwa suatu
perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi, tapi tanggung jawab untuk itu
menjadi beban dari pengurus bada hukum tersebut. Perumusan yang khusus ini
yaitu apabila perbuatan pidana dilakukan oleh satu atau karena suatu badan
hukum, tuntutan pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Dalam tahap
ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pengurusnya yang secara nyata
memimpin korporasi tersebut.
Tahap Ketiga, merupakan permulaan
adanya tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam tahap ini dibuka
kemungkinan untuk menuntut korporasi dan memintan pertanggungjawaban menurut
hukum pidana. Alasan lain adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal,
keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat
dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana
hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alas an bahwa
dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa
korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut.[8]
B.
Faktor
Penyebab Adanya Korupsi
Setelah
kita mengetahui Pengertian dan ciri-ciri korupsi maka kali ini kita akab
membahas sedikit tentang faktor dan juga penyebab dari tindakan korupsi ini.
Mengapa terjadinya korupsi itu.
Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku
atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku
matrealistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih
“mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi
( ansari Yamamah: 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh
pejabat kemudian “terpaksa” korupsi kalau sudah menjabat.
Pandangan
lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
terjasinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek
organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada
(Arifin:2000).
Secara
umum faktor penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi karena fsktor politik,
hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku yang berjudul Peran Parlemen dalam
Membasmi Korupsi (ICW:2000) yang mengidentifikasi empat faktor penyebab
terjadinya korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomin dan
birokrasi, dan faktor transnasional.
1.
FAKTOR
POLITIK
Politik
merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika
terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan,
bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Perilaku korup seperti menyuap,
politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Menurut Susanto korupsi
pada level pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap,
pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan
pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi politik (Susanto:
2002).
2.
FAKTOR
HUKUM
Faktor
hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan
dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah
ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang
tidak jelas tegas (non lext certa)
sehingga multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik
yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan
perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran sehingga dirasa terlalu
ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu
yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan
realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami
resistensi.[9]
3.
Iman Yang Tidak Kuat (Iman yang lemah)
Orang-orang
yang memiliki kelemahan iman, sangat mudah sekali untuk melakukan tindakan
kejahatan seperti korupsi contohnya. Apabila iman orang tersebut kuat, mereka
tidak akan melakukan tindakan korups ini. Banyak sekali alasan yang diberikan
oleh penindak korupsi ini.
4.
Kurangnya Sosialisasi dan Penyuluhan kepada
Masyarakat
Hal
ini dapat menyebabkan masyarakat tidak tahu tentang mengenai bentuk-bentuk
tindakan korupsi, ketentuan dan juga sanksi hukumnya, dan juga cara
menghindarinya. Akibatnya, banyak sekali diantara mereka yang menganggap
"biasa" terhadap tindakan
korupsi, bahkan merekapun juga akan melakukan hal tersebut.
5.
Desakan Kebutuhan Ekonomi
Dengan
keadaan ekonomi yang sulit, semua serba sulit, berbagai tindakan pun akan
dilakukan oleh seseorang, guna untuk mempermudah kebutuhan ekonomi seseorang,
salahsatunya adalah dengan melakukan tindakan korupsi.
6.
Pengaruh Lingkungan
Lingkungan
yang baik akan berdampak baik juga bagi orang yang berada dilingkungan
tersebut, tetapi bagaimana jika di lingkungan tersebut penuh dengan tindakan
korupsi dan lain-lain. Maka orang tersebut juga akan terpengaruh dengan
tindakan kriminal.[10]
C.
Langkah-Langkah
Pembertansan Korupsi
korupsi merupakan penyakit moral,
oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan
sistematis dengan menerapkan strategi yang komprehensif.
Memang korupsi adalah tugas utama
yang harus diselesaikan dimasa reformasi. Mustahil mereformasi suatu negara
jika korupsi masih merajalela. Sangat naif memberantas kemiskinan, meningkatkan
pelayanan kesehatan, atau mempertinggi mutu pendidikan jika korupsi tetap
dibiarkan merajalela.
Tipikor merupakan extraordinary crime (kejahatan luar
biasa) karena dampaknya yang ditimbulkan memang luar biasa. Sebab tipikor yang
selama ini terjadi secara sistemik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan
negara, menganggu stabilitas dan keamanan masyarakat, serta melemahkan
nilai-nilai demokrasi, etika, keadalian, dan kepastian hukum, sehingga dapat
membahayakan kelangsungan pembangunan, tetapi juga telah melanggar hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Bertolak dari persepi tersbut,
pembertasannya juga harus dilakukan secara luar biasa.[11]
Ada beberapa institusi penanggulangan
tindak pindana Korupsi, pertama Kepolisian
Republik Indonesia, pada dasarnya ruang lingkup tugas dan fungsi Kepolisan
selain diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Juga diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dalam rangka pemberantsan tindak pidana
korupsi salah satu poin dalam instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi mengistruksikan (kepala) Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk:
a. Mengoptimalkan
upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara,
b. Mencegah
dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang, dilakukan oleh
anggota Kepolisan Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.
c. Meningkatkan
kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, dan intitusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan
pengambalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.
Secara khusus tugas dan fungsi
kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana korupsiadalah dalam bidang
penyidikan dan peyelidikan.
Kedua,
Kejaksaan
Republik Indonesia, dalam penangana tindak pidana korupsi kewenangan Kejaksaan
Republik Indonesia tidak berbeda jauh dengan kewenangan Kepolisian Republik
Indonesia dibidang penyidikan dan penyelidikan, yakni melakukan penuntutan
perkara tindak pidana korupsi yang tidak ditangani oleh Komisi Pemberantsan
Korupsi. Jika perkara korupsi tidak melibatkan apparat penegak hukum,
penyelenggaran negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh apparat penegak hukum atau penyelenggara Negara,
tidak mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan tidak menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),
biasanya penuntutan terhadap perkara tersebut dilakukan olwh kejaksaan Republik
Indonesia.
Ketiga,
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), selain penegakan hukum untuk memberantas tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami
berbagai hambatan. Untuk itulah diperlukan metode penegakan hukum secara luar
biasa memlalui pembentukan suatau badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,
independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi, yang pelaksaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
professional serta bekesinambungan.[12]
Pembentukan lembaga yang diharapkan
mampu memberantas atau paling tidak meminimalisir maraknya kasus korupsi salah
satunya adalah dnegan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.[13] Pada sisi lain, upaya
pemberantasan korupsi yang telah berjalan selama ini dinilai pula belum
terlaksana secara optimal. Karena apparat penegak hukum yang bertugas menangani
perkara tindak pidana korupsi dipandang belum dapat berfungsi secara efektif
dan efisien.[14]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas jelaslah sudah
bahwa penanggulangan kasus-kasus korupsi tidaklah mudah, untuk itu diperlukan
kerjasama dari berbagai pihak yang melibatkan masyarakat yang tentunya dilandasi
dengan kesadaran hukum disetiap warga negara, baik posisinya sebagai warga
sipil maupun pejabat negara yang tentunya semua itu berpulang pada individu
masing-masing yang berketuhanan YME. Tanggung jawab kita bukan hanya kepada
pribadi, keluarga dan masyarakat melainkan juga kepada Tuhan.
[1] Syamsuddin
Aziz, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 15.
[2]
Undang-Undang No. 31 tahun 1991 pasal 3 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001
Tentang Korupsi
[3]
Undang-Undang No. 31 tahun 1991 pasal 2 ayat (1) jo. Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang korupsi
[4] Syamsuddin
Azizs, Tindak Pidana Khusus, op. cit. hlm. 15.
[5]
Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm.30.
[6]
Tero fiksi menganggap bahwa kepribadian hukum merupakan kesatuan-kesatuan dari
manusia adalah hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada
manusia. Hamzah Hatrik, Asas pertanggungjawaban korporasi Dalam Hukum Pidana,
PT Raja Grafindo Persada, (Jakarta, 1996). Hlm. 30. Yang dikutip kembali dari
buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi
(Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 43
[7]
Setiyono, kejahatan Korporasi cetk. Ketiga (Malang: Bayumeda Publishing, 2005),
hlm. 10. Yang dikutip kembali dari buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi
(Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 44.
[8]
Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 44-45.
[9]
Faktor penyebab Korupsi, http://hasbagiilmu.blogspot.co.id/2015/08/faktor-penyebab-korupsi.html,
diakses 6
Oktober 2016, Jam 12:02 WIB.
[10]
Faktor-faktor penyebab korupsi, http://www.multipengetahuan.com/2014/10/faktor-penyebab-tindakan-korupsi.html, diakses 6
Oktober 2016, Jam 12:02 WIB.
[11]
Syamsuddin Azizs, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.
175-176.
[12]
Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 193-199.
[13]
Uraian secara khusu mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi, baca Bibit Samad
Rianto, ‘’Undang-udang Pengadilan Tipikor dan Eksistensi Komisi Pemberantasan
Korupsi’’, dalam Amir Syarifuddin, dkk (penyuting), Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Komisi
Yudisial, Republik Indonesia, 2009). Hlm
467-479. Yang dikutip kembali dari buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta:
UII PRESS, 2016), hlm. 199.
[14]
Lihat juga Artidjo Alkostar, korupsi
Politik di Negara Modern, Cetk. Pertama, FH UII press, Yogyakarta, 2008,
hlm. 377. Yang dikutip kembali dari buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi
(Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 200.