Hak Milik, Hak Pakai, dan Hak Guna di dalam Agraria
Hak
Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara Agraris, yang
mayoritas penduduknya bergerak dalam sektor pertanian dengan memanfaatkan
sumber daya Alam (kesuburan tanah, hasil perikanan, dll). Oleh karena itu
dibutuhkan instrument yang mengatur bagaimana cara rakyat Indonesia tersebut
memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang berada di dalam perut bumi
Indonesia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran masyarakat
Indonesia.
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat
mendasar. Manusia hidup dalam melakukan aktivitas diatas tanah sehingga setiap
saat manusia selalu berhubungan dengan tanah, dapat dikatakan hampir semua
kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu
memerlukan tanah.
Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan
kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun
dampak bagi orang lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan
konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan
penggunaan tanah atau dengan kata lain disebut dengan hukum tanah.
Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut maka dibuatlah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA).
Dengan diundangkannya UUPA, berarti sejak saat itu Indonesia telah memiliki
Hukum Agraria Nasional yang merupakan warisan kemerdekaan setelah pemerintah
kolonial Belanda. Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria, menegaskan peranan kunci tanah, bahwa bumi, air, dan ruang
angkasa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil
dan makmur. Dalam konteks ini, penguasaan dan penghakkan atas tanah terutama
tertuju pada perwujudan keadilan dan kemakmuran dalam pembangunan masyarakat.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang ini bermaksud untuk mengadakan Hukum
Agraria Nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Dengan
lahirnya undang-undang ini, tercapailah suatu keseragaman mengenai hukum tanah,
sehingga tidak ada lagi ada hak atas tanah menurut hukum barat disamping hak
atas tanah menurut hukum adat.
Dengan undang-undang ini, telah dicabut buku II
KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) sepanjang yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai
hipotek yang masih berlaku sejak berlakunya undang-undang ini. Dengan demikian,
tidak ada lagi dualisme mengenai hukum tanah, yaitu Hukum Barat dan Hukum Adat
karena telah ada unifikasi Hukum Tanah Indonesia.
Dengan demikian telah dihapuskan dari B.W. segala
ketentuan atau pasal-pasal yang mengenai hak-hak kebendaan lainnya atas tanah
dan oleh undang-undang baru itu telah diciptakan hak-hak yang berikut atas
tanah :
a. Hak milik;
b. Hak guna usaha;
c. Hak guna
bangunan;
d. Hak pakai;
e. Hak sewa.
B. Identifikasi
/ Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ?
2. Apa saja subjek
Hukum Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ?
3. Bagaimana
terjadinya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ?
4. Apa saja
Hak dan Kewajiban Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ?
5. Berapa lama
jangka waktu untuk Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak una Bangunan ?
6. Bagaimana
beralihnya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak una Bangunan ?
7. Bagaimana
hapusnya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak una Bangunan ?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG HUKUM AGRARIA
A. Ruang
Lingkup Hukum Agraria
1. Definisi Agraria
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara
bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin
kata agraris berasal dari kata ager dan agrarius.
Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan
kata agrarius mempunyai arti sama dengan “perladangan,
persawahan, pertanian”.[1] Dalam
terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian,
perkebunan[2], sedangkan
dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang
selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agrarian ini
, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali
digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan
mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan
penguasaan dan pemilikan tanah. [3]
Selain pengertian agraria dilihat dari segi
terminologi bahasa sebagaimana di atas, pengertian agraria dapat pula ditemukan
dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca
konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri.
Oleh karena itu, pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti atau makna
yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat (2)). Sementara itu
pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat
(1)).
Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang
lingkup sumber daya agraria/ sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ruang
lingkup dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 Ayat (4) UUPA adalah
permukaan bumi, termasuk pula 4 Ayat (1) UUPA adalah tanah.
b. Air
Pengertian air menurut Pasal 1 Ayat (5) UUPA adalah
air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah
Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang N0. 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan, Disebutkan bahwa pengairan air meliputi air yang terkandung di dalam
dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di
bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang ada di laut.
c. Ruang
Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA
adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia.
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang
mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha
memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
d. Kekayaan Alam
yang Terkandung di Dalamnya
Kekayaan Alam yang Terkandung di dalam disebut bahan,
yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, biji-biji dan segala macam batuan,
termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-Undang
No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan).
2. Definisi Hukum
Agraria
Hukum agraria dalam bahasa Belanda disebut Agrarisch
recht yang merupakan istilah yang dipakai dalam lingkungan administrasi
pemerintahan. Dengan demikian Agrarisch recht dibatasi pada perangkat peraturan
perundang-undangan yang memberikan landasan bagi para penguasa dalam
melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan.
Menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, hukum agraria
(Agraria recht), adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum
perdata , maupun hukum tata negara (staatsrecht) maupun pula hukum tata usaha
Negara (administratifrecht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk
badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara
dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan
tersebut.
Boedi Harsono menyatakan hukum agraria bukan hanya
merupakan satu perangkat bidang hukum. hukum agraria merupakan satu kelompok
berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas
sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok
berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas[4]:
a. Hukum
Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
b. Hukum Air, yang
mengatur hak- hak penguasaan atas air.
c. Hukum
Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang
dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Pertambangan.
d. Hukum Perikanan,
yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam
air.
e. Hukum
Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa, mengatur hak-hak
penguasaan atas tenaga dan unsure-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan
oleh Pasal 48 UUPA.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum agraria
merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, yang mengatur agraria, baik dalam pengertian sempit yang hanya
mencakup permukaan bumi (tanah) maupun dalam pengertian luas, mencakup bumi,
air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hukum agraria dapat masuk dalam 2 (dua) ranah hukum,
yaitu:
1) Hukum publik :
hukum agraria masuk ranah hukum publik saat pengaturan tentang batas bangunan
diruang udara.
2) Hukum privat :
hukum agraria masuk ranah hukum privat saat penjualan tanah.
B. Tujuan
Hukum Agraria
Berdasarkan dengan pengertian agraria, tujuan
pokok yang ingin dicapai dengan adanya UUPA[5], yaitu:
1. Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat
untuk membawakanb kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat,
terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
2. Meletakkan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
3. Meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat keseluruhan.
Dengan mengacu pada tujuan pokok diadakannya UUPA,
jelaslah bahwa UUP merupakan sarana yang akan dipakai untuk mewujudkan
cita-cita bangsa dan Negara sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD
1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
Indonesia.
BAB III
MEMBANDINGKAN HUKUM HAK MILIK, HAK PAKAI,
HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.5 TAHUN 1960 TENTANG
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
A. Pengertian
Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[6]
1. Hak Milik
Pengertian hak milik menurut ketentuan Pasal 20 ayat
(1) UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6. Hak milik
dikatakan merupakan hak yang turun temurun karena hak milik dapat diwariskan
oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Hak milik sebagai hak yang terkuat
berarti hak tersebut tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap
gangguan dari pihak lain. Terpenuh berarti hak milik memberikan wewenang yang
paling luas dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Hak milik juga dapat beralih
dan dialihkan kepada pihak lain.
2. Hak Pakai
Hak pakai diatur dalam Pasal 41 – 43 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 41 ayat
(1) UUPA menentukan sebagai berikut: Hak pakai adalah hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
3. Hak Guna Usaha
Menurut ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUPA, hak guna
usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara
dalam jangka waktu tertentu untuk usaha pertanian, perikanan atau peternakan.
4. Hak Guna
Bangunan
Hak guna bangunan diatur dalam Pasal 35 – 40
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pasal 35 ayat (1) UUPA menerangkan pengertian hak guna bangunan sebagai hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri selama jangka waktu tertentu.
B. Subyek
Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[7]
1. Hak Milik
Pasal 21 ayat (1) UUPA menentukan bahwa :
a. Warganegara
Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.
b. Namun ayat (2)
ketentuan tersebut membuka peluang bagi badan hukum tertentu untuk mempunyai
hak milik. Beberapa badan hukum yang dapat mempunyai hak milik adalah bank
pemerintah atau badan keagamaan dan badan social.
Hak milik tidak dapat dipunyai oleh warganegara asing
maupun orang yang memiliki kewargangeraan ganda (warganegara Indonesia
sekaligus warganegara asing). Bagi warganegara asing atau orang yang
berkewarganegaraan ganda yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa
wasiat atau percampuran harta karena perkawinan wajib untuk melepaskan hak
tersebut paling lama satu tahun setelah memperoleh hak milik. Apabila jangka
waktu tersebut berakhir dan hak milik tidak dilepaskan, maka hak milik menjadi
hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara dengan tetap memperhatikan
hak-hak pihak lain yang membebani tanah tersebut.
2. Hak Pakai
Pasal 42 UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai
hak pakai adalah (Pasal 39 PP40/1996):
a. Warganegara
Indonesia;
b. Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c. Departemen,
Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
d. Badan-badan
keagamaan dan sosial;
e. Orang
asing yang berkedudukan di Indonesia;
f. Badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
g. Perwakilan
negara asing dan perwakilan badan Internasional.
3. Hak Guna Usaha
Pasal 30 ayat (1) UUPA menentukan bahwa yang dapat
mempunyai hak guna usaha adalah:
a. Warganegara
Indonesia;
b. Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4. Hak Guna
Bangunan
Pasal 36 ayat (1) UUPA menentukan bahwa yang dapat
mempunyai hak guna bangunan adalah:
a. Warganegara
Indonesia;
b. Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
C. Terjadinya
Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan[8]
1. Hak Milik
Terjadinya hak milik dapat disebabkan karena (Pasal 22
UUPA):
a. Hukum
adat, misalnya melalui pembukaan tanah.
b. Penetapan
pemerintah, yaitu melalui permohonan yang diajukan kepada instansi yang
mengurus tanah.
c. Ketentuan
undang-undang, yaitu atas dasar ketentuan konversi.[9]
2. Hak Pakai
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 PP40/1996, ada
tiga jenis tanah yang dapat diberikan dengan hak pakai, yaitu:
a. Tanah
Negara;
b. Tanah hak
pengelolaan;
c. Tanah hak
milik.
Terjadinya hak pakai atas tanah negara adalah melalui
keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang
ditunjuk. Terjadinya hak pakai atas hak pengelolaan adalah melalui keputusan
pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang
hak pengelolaan. Sedangkan untuk hak pakai atas tanah hak milik terjadi melalui
pemberian tanah oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Setiap pemberian hak pakai tersebut wajib didaftarkan dalam
buku tanah pada Kantor Pertanahan.
3. Hak Guna Usaha
Hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah,
yaitu melalui keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pemberian hak guna usaha wajib didaftarkan di buku tanah pada Kantor Pertanahan
dan terjadi sejak didaftarkan. Adapun tanah yang dapat diberikan dengan hak
guna usaha adalah tanah negara. Apabila tanah tersebut berupa kawasan hutan,
maka pemberian hak guna usaha dapat dilakukan setelah tanah tersebut
dikeluarkan dari status kawasan hutan. Apabila tanah yang akan diberikan dengan
hak guna usaha sudah dikuasai dengan hak tertentu yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, maka pemberian hak guna usaha dapat dilaksanakan setelah
dilakukan pelepasan hak atas tanah itu. Demikian pula apabila di atas tanah yang
akan diberikan hak guna usaha terdapat tanaman atau bangunan milik pihak lain
yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka pemilik tanaman atau bangunan
tersebut berhak untuk mendapatkan ganti rugi dari pemegang hak guna usaha.
4. Hak Guna Bangunan
Ada tiga jenis tanah yang dapat diberikan dengan hak
guna bangunan, yaitu :
a. Untuk
tanah negara, hak guna bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh
menteri atau pejabat yang ditunjuk.
b. Untuk tanah hak
pengelolaan, hak guna bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh
menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan.
Sedangkan
c. untuk
tanah hak milik, terjadinya hak guna bangunan adalah melalui pemberian oleh
pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Setiap pemberian hak guna bangunan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan.
D. Hak
dan Kewajiban Hak Pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan[10]
1. Hak Milik
Tidak diatur
2. Hak Pakai
Menurut ketentuan Pasal 52 PP 40/1996 tentang hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah , hak dari pemegang hak pakai
adalah:
a. Pemegang
hak pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan hak
pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk
memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama
digunakan untuk keperluan tertentu.
Pasal 50 PP 40/1996 tentang hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai atas
tanah mengatur kewajiban pemegang hak pakai adalah
sebagai berikut
a. Membayar
uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan
pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau dalam
perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik;
b. Menggunakan
tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau
perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik;
c. Memelihara
dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian
lingkungan hidup;
d. Menyerahkan
kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada negara, pemegang hak
pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah hak pakai tersebut hapus;
e. Menyerahkan
sertipikat hak pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
f. Pasal 51
PP40/1996 menentukan kewajiban tambahan bagi pemegang hak yang tanahnya
mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum
atau jalan air juga wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan
lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung tersebut.
3. Hak Guna Usaha
a. Pemegang
hak guna usaha berhak untuk menguasai dan menggunakan tanah yang dipunyainya
untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan atau
peternakan. Untuk mendukung usahanya tersebut, maka pemegang hak guna usaha
berhak untuk menguasai dan menggunakan sumber air dan sumber daya alam lainnya
yang terdapat di atas tanah tersebut dengan memperhatikan ketentuan yang
berlaku dan kepentingan masyarakat sekitar.
Pemegang hak guna usaha berkewajiban untuk:
a. Membayar
uang pemasukan kepada negara;
b. Melaksanakan
usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan sesuai dengan
peruntukan dan syarat yang ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
c. Mengusahakan
sendiri tanah tersebut dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha yang
ditetapkan oleh instansi teknis;
d. Membangun dan
memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada di lingkungan
areal tanah tersebut;
e. Memelihara
kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian
kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Menyampaikan
laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan tanah tersebut;
g. Menyerahkan
kembali tanah tersebut kepada negara setelah hak guna usahanya hapus;
h. Menyerahkan
sertifikat hak guna usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan;
i. Selain
kewajiban-kewajiban tersebut, pemegang hak guna usaha juga dilarang untuk
menyerahkan pengusahaan tanah tersebut kepada pihak lain, kecuali diperbolehkan
menurut ketentuan yang berlaku. Pemegang hak yang tanahnya mengurung atau
menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air
juga wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung tersebut.
4. Hak Guna
Bangunan
Pasal 32 PP 40/1996 tentang hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai atas tanah menentukan bahwa pemegang hak guna bangunan
berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan hak guna
bangunan selama jangka waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan
untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut
kepada pihak lain dan membebaninya.
Kewajiban-kewajiban pemegang hak guna bangunan menurut
ketentuan Pasal 30 PP 40/1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai atas tanah adalah:
1. Membayar uang
pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan
pemberian haknya;
2. Menggunakan
tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan yang ditetapkan dalam
keputusan dan perjanjian pemberian haknya;
3. Memelihara
dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian
lingkungan hidup;
4. Menyerahkan
kembali tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan kepada negara, pemegang
hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah hak guna bangunan itu hapus;
5. Menyerahkan sertifikat
hak guna bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
E. Jangka
Waktu Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[11]
1. Hak Milik
Tidak diatur
2. Hak Pakai
Hak pakai atas tanah hak milik diberikan untuk jangka
waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Setelah
hak pakai berakhir, hak pakai dapat diperbaharui atas kesepakatan pemegang hak
pakai dan pemegang hak milik melalui pemberian hak pakai baru dengan akta yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setiap perpanjangan dan pembaharuan hak
pakai wajib didaftarkan di buku tanah pada Kantor Pertanahan.
3. Hak Guna Usaha
Hak guna usaha diberikan untuk pertama kalinya paling
lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Setelah jangka waktu
dan perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaruan hak
di atas tanah yang sama (Pasal 8 PP 40/1996 juncto Pasal 29 UUPA).
4. Hak Guna
Bangunan
Hak guna bangunan yang berasal dari tanah negara dan
tanah hak pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun
dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun. Setelah
jangka waktu tersebut berakhir, hak guna bangunan tersebut dapat diperbarui.
Untuk hak guna bangunan yang berasal dari tanah hak
pengelolaan, diperlukan persetujuan dari pemegang hak pengelolaan. Permohonan
perpanjangan atau pembaruan hak guna bangunan diajukan selambat-lambatnya dua
tahun sebelum jangka waktunya berakhir dan wajib dicatat dalam buku tanah pada
Kantor Pertanahan.
Untuk hak guna bangunan atas tanah hak milik, jangka
waktunya adalah paling lama tiga puluh tahun. Setelah jangka waktu tersebut
berakhir, maka hak guna bangunan dapat diperbarui atas kesepakatan antara
pemegang hak guna bangunan dengan pemegang hak milik. Pembaruan tersebut dimuat
dalam akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan wajib didaftarkan.
F. Beralihnya
Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[12]
1. Hak Milik
Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain dengan
cara jual beli, hibah, tukar-menukar, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.[13] Perlu
diperhatikan bahwa hak milik tidak dapat dialihkan kepada orang asing atau
badan hukum karena orang asing dan badan hukum tidak dapat menjadi subyek hak
milik. Sehingga peralihannya menjadi batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada
negara.[14]
2. Hak Pakai
Hak pakai atas tanah negara yang diberikan untuk
jangka waktu tertentu dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih
dan dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan hak pakai atas tanah hak milik hanya
dapat dialihkan apabila hal ini dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak
pakai atas tanah hak milik tersebut. Adapun cara peralihannya adalah sebagai
berikut:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Penyertaan
dalam modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
3. Hak Guna Usaha
Hak guna usaha dapat beralih atau dialihkan kepada
pihak lain dengan cara:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Penyertaan
dalam modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
4. Hak Guna
Bangunan
Hak guna bangunan dapat beralih atau dialihkan kepada
pihak lain dengan cara:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Penyertaan
dalam modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
G. Hapusnya
Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan[15]
1. Hak Milik
Menurut ketentuan Pasal 27 UUPA, hak milik hapus
karena:
a. Tanahnya
jatuh kepada negara:
b. karena
pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;
c. Karena
penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
d. Karena
diterlantarkan;
e. Karena
ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
f. Tanahnya
musnah.
g. Selain itu hak
milik juga hapus apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
peraturan landreform yang mengenai pembatasan maksimum dan larangan pemilikan
tanah/pertanian secara absentee.[16]
2. Hak Pakai
Hak pakai hapus karena (Pasal 55 PP40/1996):
a. Jangka
waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui;
b. Dibatalkan oleh
pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik
sebelum jangka waktunya berakhir karena:
c. Tidak
dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya
ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban pemegang hak pakai;
d. Tidak
dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang diatur dalam perjanjian
pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dan pemegang hak milik atau
perjanjian penggunaan hak pengelolaan;
e. Putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
f. Dilepaskan
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
g. Dicabut untuk
kepentingan umum (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya);
h. Diterlantarkan;
i. Tanahnya
musnah;
j. Orang
atau badan hukum yang mempunyai hak pakai tidak lagi memenuhi syarat sebagai
pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu
tahun).
k. Terhadap tanah
yang hak pakainya hapus karena ketentuan tersebut, maka tanahnya menjadi tanah
negara.
3. Hak Guna Usaha
Hak guna usaha hapus karena (Pasal 34 UUPA):
a. Jangka
waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui;
b. Dilepaskan oleh
pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
c. Dicabut
untuk kepentingan umum (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya);
d. Diterlantarkan;
e. Tanahnya
musnah;
f. Orang atau
badan hukum yang mempunyai hak guna usaha tidak lagi memenuhi syarat sebagai
pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu
tahun).
Terhadap tanah yang hak guna usahanya hapus karena
ketentuan tersebut, maka tanahnya menjadi tanah negara.
4. Hak Guna
Bangunan
Berikut ini adalah penyebab hapusnya hak guna
bangunan:
a. Jangka
waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui;
b. Dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau pemegang hak milik karena tidak dipenuhinya suatu syarat:
c. Tidak
dipenuhinya kewajiban-kewajiban memegang hak;
d. Tidak
dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh
pemegang hak guna bangunan dengan pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik;
e. Putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
f. Dilepaskan
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
g. Dicabut untuk
kepentingan umum (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya);
h. Diterlantarkan;
i. Tanahnya
musnah;
j. Orang
atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan tidak lagi memenuhi syarat
sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat
satu tahun).
Hapusnya hak guna bangunan atas tanah negara
mengakibatkan tanah tersebut menjadi tanah negara. Hapusnya hak guna bangunan
atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan
pemegang hak pengelolaan. Hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak milik
mengakibatkan tanah tersebut kembali ke dalam penguasaan pemegang hak milik.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pengertian
agraria dan hukum agraria mempunyai arti atau makna yang sangat luas. Pengertian
agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang ini bermaksud untuk mengadakan Hukum
Agraria Nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Dengan
lahirnya undang-undang ini, tercapailah suatu keseragaman mengenai hukum tanah,
sehingga tidak ada lagi ada hak atas tanah menurut hukum barat disamping hak
atas tanah menurut hukum adat.
Dengan undang-undang ini, telah dicabut buku II
KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) sepanjang yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai
hipotek yang masih berlaku sejak berlakunya undang-undang ini. Dengan demikian,
tidak ada lagi dualisme mengenai hukum tanah, yaitu Hukum Barat dan Hukum Adat
karena telah ada unifikasi Hukum Tanah Indonesia.
Dengan demikian telah dihapuskan dari B.W. segala
ketentuan atau pasal-pasal yang mengenai hak-hak kebendaan lainnya atas tanah
dan oleh undang-undang baru itu telah diciptakan hak-hak yang berikut atas
tanah :
f. Hak milik;
g. Hak guna usaha;
h. Hak guna
bangunan;
i. Hak
pakai;
j. Hak
sewa.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan
Pendaftarannya, Cet. 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Jilid 1 Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta,
1994,
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Balai Pustaka, Jakarta, 2014,
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,
2012,
Tresna, Hukum Agraria di Indonesia, Melalui :
<https://tresnabuana.wordpress.com/tag/ruang-lingkup-agraria/>,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2015,18:05.
Rafaka, Perbandingan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai, Melalui : <mdjiung.blogspot.co.id/2011/01/perbandingan-hak-milik-hak-guna-usaha.html?m=0>,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2015, 18:07.
Wibowo Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> ,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:25.
[1] Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1Hukum
Tanah, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 4
[3] St. Paul
Minn, Black’s Law Dictionary, 1983, West Publishing Co, dalam Boedi
Harsono Hukum Agraris ,… op.cit., hlm. 4.
[4] Tresna, Hukum
Agraria di Indonesia, Melalui : <https://tresnabuana.wordpress.com/tag/ruang-lingkup-agraria/>,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2015,18:05.
[6] Rafaka, Perbandingan
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, Melalui :
<mdjiung.blogspot.co.id/2011/01/perbandingan-hak-milik-hak-guna-usaha.html?m=0> ,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2015, 18:07.
[7] Subekti dan
R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Balai Pustaka,
Jakarta, 2014, hlm. 522-527
[8] Wibowo
Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> ,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:25.
[9] Adrian
Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 60-61.
[10] Wibowo
Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> ,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:30.
[11] Wibowo
Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> ,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:40.
[12] Wibowo
Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> ,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:40.
[15] Wibowo
Turnady, Hukum Agraria, Melalui : <www.jurnalhukum.com/category/hukum-agraria/> ,
Data diunduh Senin, 19 Oktober 2014, 20:40.