Translate

Senin, 05 Desember 2016

PENGERTIAN

  NEGARA  HUKUM

Gagasan Awal

Gagasan negara hukum pada dasarnya bermula dari keinginan untuk membatasi kekuasaan raja yang mutlak. Pada zaman dahulu, kekuasaan raja ini mencakup semua dimensi kehidupan bernegara. Dengan kata lain, kekuasaan pembuatan UU, pelaksana UU, dan pengadilan semuanya berada di tangan raja. Hal ini sering melahirkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia atau melahirkan tirani. Salah satu cara untuk membatasi kesewenang-wenangan raja adalah dengan pemencaran kekuasaan (spreiding van machten), yang dari sini kemudian melahirkan konsep pembagian kekuasaan (machtenverdeling), pemisahan kekuasaan (machtenscheiding), dan check and balances antar lembaga kekuasaan negara. Melalui pemencaran kekuasaan, pembagian dan pemisahan kekuasaan, dan check and balances ini diharapkan hak-hak asasi manusia dapat terpelihara dari tindakan tirani raja. Dari sini dapat kita pahami bahwa gagasan awal tentang negara hukum itu berkisar pada persoalan; bagaimana kekuasaan raja itu agar tidak sewenangwenang; dan bagaimana hak-hak asasi manusia dapat dilindungi;? Agar cara-cara penyelenggaraan kekuasaan-kekuasaan negara itu berjalan secara pasti dan agar hak-hak asasi manusia mendapatkan jaminan, maka perlu diatur oleh hukum, yang tertuang secara tertulis dalam dokumen resmi. Inilah yang kemudian dikenal dengan konstitusi. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah negara yang diatur oleh konstitusi atau hukum tertulis.

Dimensi Historis

Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintrodusir konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. 

Gagasan Plato itu kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Aristoteles. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu; 
1.      Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
2.      Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuanketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; 
3.      Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. 

Dalam perkembangannya, konsep negara hukum itu muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep AngloSaxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.[1]

Negara Hukum Kontinental (Rechtsstaat)


Konsep rechtsstaat dikemukakan oleh Freidrich Julius Stahl. Menurut Stahl, unsurunsur negara hukum (rechtsstaat) adalah sebagai berikut: 
(a)    perlindungan hak-hak asasi manusia; 
(b)   pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 
(c)    pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan  (d) peradilan administrasi dalam perselisihan.

Legal State (Negara Hukum Klasik); dengan ciri-ciri:
a)      Sataatsonthouding, yakni pembatasan peranan negara dan pemerintah dalam bidang politik yang melahirkan dalil “The least government is the best government”, dan  prinsip “laissez faire, laissez aller” dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat.
b)      Pemerintah atau eksekutif hanya menjalankan UU yang dibuat oleh Legislatif; karena itu pemerintah berpegang teguh pada asas legalitas.
c)      Pemerintahan yang pasif (Nachtwakkersstaat atau Nachtwachtersstaat).

Welfare State (Negara Hukum Modern); dengan ciri-ciri:
a)      staatsbemoeienis yakni negara dan pemerintah dibebani tanggungjawab untuk mewujudkan bestuurszorg atau kesejahteraan umum;
b)      Pemerintah dilekati dengan kewenangan di bidang legislasi;
c)      Pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat;
d)      Pemerintah dilekati dengan freies Ermessen, yang kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan (beleidsregel).

Negara Hukum Anglosakson (rule of law)

 
Konsep rule of law dikemukakan oleh A.V. Dicey, yang unsur-unsurnya   sebagai berikut:
(a)     Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
(b)     Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
(c)     Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undangundang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.  

Antara konsep rechtsstaat dengan rule of law ada perbedaan, yakni dalam rechtsstaat ada unsur “peradilan administrasi dalam perselisihan”, sedangkan dalam rule of law tidak ada. Mengapa demikian?  Menurut Philipus M. Hadjon;
“Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”. Karakteristik civil law adalah administratif sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu besarnya peranan administrasi sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem kontinentallah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit administratif dan inti dari droit administratif adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat… Sebaliknya di Inggris, kekuasaan utama dari raja adalah memutus perkara. Peradilan oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu system peradilan sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja, tetapi bukan melaksanakan kehendak raja. Hakim harus memutus perkara berdasarkan kebiasaan umum Inggris. ….di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara (hukum administrasi dan peradilan administrasi), sedangkan di Inggris dipikirkan langkah-langkah untuk peradilan yang adil, penahanan yang tidak sewenang-wenang”.[2]  




Negara Hukum Islam (Nomokrasi Islam)

Nomokrasi Islam merupakan konsep negara yang umumnya diterapkan di negara-negara Islam. Tahir Azhary menyebutkan bahwa Nomokrasi Islam itu memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2.      Prinsip musyawarah;
3.      Prinsip keadilan;
4.      Prinsip persamaan;
5.      Prinsip pengakuan dan perlindungan HAM;
6.      Prinsip Peradilan Bebas;
7.      Prinsip Perdamaian;
8.      Prinsip kesejahteraan; 9. Prinsip ketaatan rakyat.  

Negara Hukum Indonesia (Pancasila)

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Amandemen Ketiga disebutkan; “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 
Unsur-unsur Negara Hukum Indonesia:
Philipus M. Hadjon: 
1.      Hubungan antara Pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
2.      Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; 3. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. 

Tahir Azhary

Menurutnya ada ciri-ciri dan unsur-unsur negara hukum Pancasila; Ciri-cirinya adalah:
1.      Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
2.      Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
3.      Kebebasan agama dalam arti positif;
4.      Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
5.      Asas kekeluargaan dan kerukunan;

Unsur-unsurnya adalah:
1.      Pancasila;
2.      MPR;
3.      Sistem Konstitusi;
4.      Persamaan; 5. Peradilan bebas.

Negara Hukum Demokratis (Democratische Rechtsstaat)

Negara hukum demokratis adalah suatu negara yang di dalamnya mengakomodir prinsipprinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi. Unsur-unsurnya disebutkan oleh H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dan oleh J.B.J.M. ten Berge.

J.B.J.M. ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut: [3]

a. Prinsip-prinsip negara hukum;

1)      Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang. 
2)      Perlindungan hak-hak asasi.
3)      Pemerintah terikat (tunduk) pada hukum.
4)      Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus dapat ditegakan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrumen yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah.
5)      Pengawasan oleh hakim yang merdeka. 

b. Prinsip-prinsip demokrasi;  1) Perwakilan politik. 
2)      Pertanggungjawaban politik. 
3)      Pemencaran kewenangan. 
4)      Pengawasan dan kontrol. (Penyelenggaraan) pemerintahan harus dapat dikontrol.
5)      Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum.
6)      Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.

H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip  rechtsstaat dan prinsipprinsip demokrasi sebagai berikut:

a. Prinsip-prinsip rechtsstaat;

1)      Pemerintahan berdasarkan undang-undang; pemerintah hanya memiliki kewenangan yang secara tegas diberikan oleh UUD atau UU lainnya.
2)      Hak-hak asasi; terdapat hak-hak manusia yang sangat fundamental yang harus dihormati oleh pemerintah.
3)      Pembagian kekuasaan; kewenangan pemerintah tidak boleh dipusatkan pada satu lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang berbeda agar saling mengawasi yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan.
4)      Pengawasan lembaga kehakiman; pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang merdeka. [4]

b. Prinsip-prinsip demokrasi;

1)      Keputusan-keputusan penting, yaitu undang-undang, diambil bersama-sama dengan perwakilan rakyat yang dipilih berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
2)      Hasil dari pemilihan umum diarahkan untuk mengisi dewan perwakilan rakyat dan untuk pengisian pejabat-pejabat pemerintahan.
3)      Keterbukaan pemerintahan.
4)      Siapapun yang memiliki kepentingan yang (dilanggar) oleh tindakan penguasa, (harus) diberi kesempatan untuk membela kepentingannya.
5)      Setiap keputusan harus melindungi berbagai kepentingan minoritas, dan harus seminimal mungkin menghindari ketidakbenaran dan kekeliruan).[5]





[1] Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 63
[2] Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 73
[3] Disarikan dari J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, hlm. 34-38
[4] H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma BV. Utrecht, 1995, hlm. 41
[5] Ibid., hlm. 49 

Read more...

Jumat, 11 November 2016

Pengertian Korupsi dan Penangannya


KATA PENGANTAR
Korupsi sudah menjadi fenomena yang biasa di dalam masyarakat di Indonesia dapat dikatakan bahwa sepertinya korupsi sudah menjadi budaya.di Indonesia bagaikan surga untuk para koruptor. Hal ini terlihat dengan diletakkannya Indonesia pada perigkat kelima dari 146 negara terkorup dari seluruh dunia yang diteliti oleh transparansi internasional pada tahun 2004.
Korupsi mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia menderita dan hidup dalam kemiskinan, penanggulangan korupsi menjadi PR bersama mengingat korupsi berkembang begitu pesat bagaikan jamur hingga merambah ke instansi terbawah sekalipun.
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi di atur dalam UU no.31 tahun 1999, Uu no.20 tahun 2001 dan bentuk pelaksanaan dari pasal 43 UU no. 31 tahun 1999 yaitu dibentuknya UU no.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disingkat KPK.
Menjamurnya korupsi di Indonesia merupakan wajah keterpurukan yang harus disehatkan. Untuk itu dalam pembahasan disini mencoba untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang menyebabkan terjadinya korupsi dan bagaimana pencegahannya.
Disamping kedaan tersebut perlu juga dikemukakan atau dibahas bagaimana perilaku maupun sepak terjang dari para apparat penegak hukum yang setidaknya turut ambil bagian mewarnai keadaan yang cukup memprehatinkan pada wajah hukum dinegara yang kita cintai ini dan telah menjadi rahasia umum bagaimana apparat penegak hukumnyapun bisa kita katakana ikut andil sehingga menjamur atau tumbuh suburnya perbuatan korupsi dimaksud .
Sehingga kiranya dengan kekurang mampuan penulis namun tetap berusaha untuk menyajikan permasalahan ini yang akhirnya dapat dipergunakan sebagai bahan ataupun saran tidak lebih lanjut dalam hal penanggulangan korupsi dinegara yang kita cintai ini.
ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar i
Daftar isi ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang 
B. Perumusan masalah 
BAB II KORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA
A Pengertian korupsi 
B .Faktor penyebab korupsi 
C. Langkah pemberantasan korupsi 
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi bukan barang baru di Indonesia. Sejak zaman VOC sampai bubarnya VOC disebabkan oleh korupsi, korupsi sudah sangat lama dikenal. Upeti dizman kerajaan dimasa lalu adalah salah satu bentuk dari korupsi.
Korupsi merupakan budaya peninggalan masa lalu. Ini merupakan suatu budaya yang sulit dihilangkan karena melekat pada diri manusia itu sendiri yang merupakan moralitas atau akhlak.Untuk menghilangkan itu semua perlu dicari sebab-sebab dan bagaimana untuk mengatasinya. Penyebab utama adanya korupsi adalah berasal dari masing-masing individu dan untuk mengatasinya harus dimulai dari penyusunan akhlak yang baik dalam diri manusia itu sendiri selain upaya-upaya lain yang bersifat eksternal berupa pencegahan-pencegahan melalui penegakan hukum itu sendiri.
B. Perumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2. Faktor penyebab adanya korupsi ?
3. Bagaimana cara pemberantasan korupsi






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Korupsi

Definisi tindak pidana korupsi tidak ada define baku dari tindak pidana korupsi (tipikor). Tetapi secara umum, pengertian Tipikor adalah salah satu perbuatan curang yang merugian negara. Atau penyelwengan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan orang lain atau korporasi[1]. Pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang – Undang Tipikor Pasal 3 UU No. 31 tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara…” [2].
            Pengertian berdasarkan pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi: “ setiap orang yang secara melawan Hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”[3]. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang termasuk kedalam unsur-unsur tindak pidana korupsi adalah (1) setiap orang, termasuk juga korporasi, yang (2) melakukan perbuatan melawan hukum, (3) memperkaya diri sendiri, dan (4) merugikan keuangan negara.
Menurut penulis pasal ini di tunjukan kepada semua orang tanpa terkecuali dan semua korporasi dapat melakukan tindak pidana korupsi, tetapi yang pernah bapak Mahrus ali katakaa adalah bagaimana cara untuk mengetahui apakah orang atau korporasi tersebut merugikan negara atau tidak karena didalam pasal tersebut ada delik yang menyatakan bahwa dapat merugian perekonomian negara, untuk mengukur apakah perekonomian negara itu rugi sangat susah untuk menentukan parameternya tersebut.
Pengertian berdasarkan pasal 3 UU No. 31 tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang termasuk kedalam unsur tindak pidana korupsi adalah  (1) setiap orang, termasuk juga korporasi yang, (2) tujuannya menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan, (3) menyalah gunakan wewenang, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang melekat pada dirinya, (4) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian ini lebih ditunjukan kepada PNS (Pegawai Negri Sipil) atau pejabat publik dan korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi karena menyalahgunakan wewenang, kesempatan dan saran yang melekat pada jabatanya.
Adapun sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku Tipikor berupa Pidana Penjara dan Pidana Denda yang di ataur dalam (pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12A, pasal 12B, dan pasal 12C UU No31. Tahun 1991 jo. No. 20 tahun 2001).
Kasus-kasus Tipikor biasanya melibatkan lebih dari satu orang, berbeda dengan kasus-kasus tindak pidana Umum (misalnya pencurian dan penipuan), seperti meminta uang saku yang berlebihan dan peningkatan frekuensi perjalanan dinas, umumnya Tipikor dilakukan secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan secara timbal balik. Mereka yang terlibat Tipikor biasanya juga berusaha menyelubungi perbuatannya dengan perlindungan di balik pembenaran hukum.[4]
Terdapat beberapa istilah penting yang di jadikan acuan penegakan hukum dalam Tipikor. Pertama, pejabat public yaitu meliputi, (1) setiap orang yang memegang jabatan  legislative, eksekutif, administartif, atau yudikatif di suatu negara. (2) setiap orang yang melaksanakan fungsi public, termasuk untuk suatu instansi public atau perusahan public.
Kedua, kekayaan yaitu setiap jenis asset, baik bertubuh atau tak bertubuh, bergerak atau tak bergerak, berwujud dan tidak berwujud, dan dokumen atau instrument hukum yang membuktikan ha katas atau kepentingan dalam aset tersebut.
Ketiga, hasil kejahatan yaitu setiap kekayaan yang berasal atau diperolah langsung atau tidak langsung dari pelaksanaan kejahatan.
Keempat, pembekuan atau penyitaan yang berati pelarangan sementara transfer, konversi, pelepasan atau pemindahan kekayan, atau penempatan sementara kekayaan dalam pengawasaan atau pengendalian berdasarkan perintah pengendalian atau pejabat berwenang lainya.
Kelima, perampasan yang meliputi pembayaran denda jika adalah perampasan kekayaan secara tetap berdasarkan perintah pengadilan atau perjabat berwenang lainnya.[5]
Korporasi diakui sebagai subjack delik, dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi badan hukum yang dipengaruhi oleh pemikiran VonSavigny yang terkenal dengan teori fiksi[6] tidak diakui dalam hukum pidana karena pemerintah Belanda pada saat itu tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum pidana. Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku perbuatan pidana hanyalah manusia.
Dalam perkembangannya ada usaha untuk menjadi korporasi sebagai subjack hukum dalam pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus-pengurus korporasi.
Dimulai dari tahap pertama yang ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorngan. Apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidan tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini membebankan ‘tugas pengurus’ kepada pengurus.[7]
Tahap kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah perang dunia 1 dalam perumusan undang-undang,bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi, tapi tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus bada hukum tersebut. Perumusan yang khusus ini yaitu apabila perbuatan pidana dilakukan oleh satu atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Dalam tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut.
Tahap Ketiga, merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan memintan pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alas an bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut.[8]

B.     Faktor Penyebab Adanya Korupsi
Setelah kita mengetahui Pengertian dan ciri-ciri korupsi maka kali ini kita akab membahas sedikit tentang faktor dan juga penyebab dari tindakan korupsi ini. Mengapa terjadinya korupsi itu.  
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku matrealistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi ( ansari Yamamah: 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian “terpaksa” korupsi kalau sudah menjabat.
Pandangan lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjasinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada (Arifin:2000).
Secara umum faktor penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi karena fsktor politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku yang berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW:2000) yang mengidentifikasi empat faktor penyebab terjadinya korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomin dan birokrasi, dan faktor transnasional.
1.       FAKTOR POLITIK
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan.
            Perilaku korup seperti menyuap, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi politik (Susanto: 2002).
2.       FAKTOR HUKUM
Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas tegas  (non lext certa) sehingga multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami resistensi.[9]
3.        Iman Yang Tidak Kuat (Iman yang lemah)
Orang-orang yang memiliki kelemahan iman, sangat mudah sekali untuk melakukan tindakan kejahatan seperti korupsi contohnya. Apabila iman orang tersebut kuat, mereka tidak akan melakukan tindakan korups ini. Banyak sekali alasan yang diberikan oleh penindak korupsi ini.
4.        Kurangnya Sosialisasi dan Penyuluhan kepada Masyarakat
Hal ini dapat menyebabkan masyarakat tidak tahu tentang mengenai bentuk-bentuk tindakan korupsi, ketentuan dan juga sanksi hukumnya, dan juga cara menghindarinya. Akibatnya, banyak sekali diantara mereka yang menganggap "biasa"  terhadap tindakan korupsi, bahkan merekapun juga akan melakukan hal tersebut.
5.        Desakan Kebutuhan Ekonomi
Dengan keadaan ekonomi yang sulit, semua serba sulit, berbagai tindakan pun akan dilakukan oleh seseorang, guna untuk mempermudah kebutuhan ekonomi seseorang, salahsatunya adalah dengan melakukan tindakan korupsi.





6.        Pengaruh Lingkungan
Lingkungan yang baik akan berdampak baik juga bagi orang yang berada dilingkungan tersebut, tetapi bagaimana jika di lingkungan tersebut penuh dengan tindakan korupsi dan lain-lain. Maka orang tersebut juga akan terpengaruh dengan tindakan kriminal.[10]
C.    Langkah-Langkah Pembertansan Korupsi
korupsi merupakan penyakit moral, oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis dengan menerapkan strategi yang komprehensif.
Memang korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan dimasa reformasi. Mustahil mereformasi suatu negara jika korupsi masih merajalela. Sangat naif memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, atau mempertinggi mutu pendidikan jika korupsi tetap dibiarkan merajalela.
Tipikor merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena dampaknya yang ditimbulkan memang luar biasa. Sebab tipikor yang selama ini terjadi secara sistemik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, menganggu stabilitas dan keamanan masyarakat, serta melemahkan nilai-nilai demokrasi, etika, keadalian, dan kepastian hukum, sehingga dapat membahayakan kelangsungan pembangunan, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Bertolak dari persepi tersbut, pembertasannya juga harus dilakukan secara luar biasa.[11]
Ada beberapa institusi penanggulangan tindak pindana Korupsi, pertama Kepolisian Republik Indonesia, pada dasarnya ruang lingkup tugas dan fungsi Kepolisan selain diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Juga diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dalam rangka pemberantsan tindak pidana korupsi salah satu poin dalam instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi mengistruksikan (kepala) Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk:
a.       Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana  korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara,
b.      Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang, dilakukan oleh anggota Kepolisan Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.
c.       Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, dan intitusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengambalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.
Secara khusus tugas dan fungsi kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana korupsiadalah dalam bidang penyidikan dan peyelidikan.
Kedua, Kejaksaan Republik Indonesia, dalam penangana tindak pidana korupsi kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia tidak berbeda jauh dengan kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dibidang penyidikan dan penyelidikan, yakni melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang tidak ditangani oleh Komisi Pemberantsan Korupsi. Jika perkara korupsi tidak melibatkan apparat penegak hukum, penyelenggaran negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh apparat penegak hukum atau penyelenggara Negara, tidak mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan tidak menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), biasanya penuntutan terhadap perkara tersebut dilakukan olwh kejaksaan Republik Indonesia.
Ketiga, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selain penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itulah diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa memlalui pembentukan suatau badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta bekesinambungan.[12]
Pembentukan lembaga yang diharapkan mampu memberantas atau paling tidak meminimalisir maraknya kasus korupsi salah satunya adalah dnegan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.[13] Pada sisi lain, upaya pemberantasan korupsi yang telah berjalan selama ini dinilai pula belum terlaksana secara optimal. Karena apparat penegak hukum yang bertugas menangani perkara tindak pidana korupsi dipandang belum dapat berfungsi secara efektif dan efisien.[14]


BAB III
 PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian diatas jelaslah sudah bahwa penanggulangan kasus-kasus korupsi tidaklah mudah, untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak yang melibatkan masyarakat yang tentunya dilandasi dengan kesadaran hukum disetiap warga negara, baik posisinya sebagai warga sipil maupun pejabat negara yang tentunya semua itu berpulang pada individu masing-masing yang berketuhanan YME. Tanggung jawab kita bukan hanya kepada pribadi, keluarga dan masyarakat melainkan juga kepada Tuhan.






[1] Syamsuddin Aziz, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 15.
[2] Undang-Undang No. 31 tahun 1991 pasal 3 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Korupsi
[3] Undang-Undang No. 31 tahun 1991 pasal 2 ayat (1) jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang korupsi
[4] Syamsuddin Azizs, Tindak Pidana Khusus, op. cit. hlm. 15.

[5] Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm.30.
[6] Tero fiksi menganggap bahwa kepribadian hukum merupakan kesatuan-kesatuan dari manusia adalah hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Hamzah Hatrik, Asas pertanggungjawaban korporasi Dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, (Jakarta, 1996). Hlm. 30. Yang dikutip kembali dari buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi  (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 43
[7] Setiyono, kejahatan Korporasi cetk. Ketiga (Malang: Bayumeda Publishing, 2005), hlm. 10. Yang dikutip kembali dari buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 44.
[8] Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 44-45.
[9] Faktor penyebab Korupsi, http://hasbagiilmu.blogspot.co.id/2015/08/faktor-penyebab-korupsi.html, diakses 6 Oktober 2016, Jam 12:02 WIB.
[10] Faktor-faktor penyebab korupsi, http://www.multipengetahuan.com/2014/10/faktor-penyebab-tindakan-korupsi.html, diakses 6 Oktober 2016, Jam 12:02 WIB.
[11] Syamsuddin Azizs, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 175-176.
[12] Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 193-199.
[13] Uraian secara khusu mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi, baca Bibit Samad Rianto, ‘’Undang-udang Pengadilan Tipikor dan Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi’’, dalam Amir Syarifuddin, dkk (penyuting), Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Komisi Yudisial, Republik Indonesia,  2009). Hlm 467-479. Yang dikutip kembali dari buku Ali Mahrus, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: UII PRESS, 2016), hlm. 199.

Read more...

Wikipedia

Hasil penelusuran

free counters

Hukum Indonesia (Civil Law) © Layout By Hugo Meira.

TOPO